Selasa, 04 Juni 2013

Ajaran tentang Sangha


Responding paper makalah Ajaran tentang Sangha.
Oleh : Ati puspita
A.    PENDAHULUAN
Aturan organisasi agama buddha membagi para penganut agama buddha kedalam dua kelompok, yaitu kelompok Sangha dan kelompok awam. Kelompok Sangha adalah terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningatkan nili-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan hidup berkeluarga. Sedangkan kelompok awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha serta melaksanakan hidup berumah  tangga sebagai orang biasa.[1]
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa Sangha adalah arya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.[2]

B.     KEDUDUKAN SANGHA
Menurut sejarah agama Buddha beberapa minggu setelah Sidharta Gautama mencapai pencerahan maka ia membentuk Sangha yang pertama yang anggota-anggotanya terdiri dari Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji. Diantara kelima murid buddha tersebut yang mencapai tingkat Arahat adalah Kondana. Mereka merupakan contoh masyarakat buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai hidup tertinggi atau Nirwana.[3]
Anggota Sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat buddha Sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).[4]
Menurut kepercayaan Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari Buddha dan Dharma karena ketiganya adalah kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari yang muthlak di dunia. Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:
-            Buddha adalah bulan purnama,
-            Dharma adalah sinar yang menerangi dunia,
-            Sangha adalah dunia yang menerima sinar tersebut.
Dengan istilah lain:
-            Buddha bagaikan orang yang membakar hutan,
-            Dharma bagaikan api yang membakar hutan (kekotoran batin),
Sangha bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis terbakar.[5]

C.    CARA MENJADI BIKKHU
Inti masyarakat Buddhisme dalam arti yang sebenarnya adalah hanya terdiri dari para Rahib (Bikkhu/Biksu). Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu mencapai nirwana. Seluruh persekutuan para Bikkhu/Biksu disebut Sangha/jemat.[6]
Yang terakhir seorang Bikkhu harus hidup dengan ahimsa (tanpa kekerasan), artinya ia dilarang membunuh dan melukai makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dijauhi para bikkhu adalah: hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang lain, dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat mu’jizat.[7]
Setelah menjadi bikkhu seseorang harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam kitab vinaya pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
1.    Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriyah.
2.    Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian, serta kebutuhan hidup yang lain.
3.    Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin.
4.    Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.[8]

D.    KELOMPOK BUDDHA AWAM
Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Buddha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyrakat buddha awam ini dapat dibedakan sebagai berikut:
-                 Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya,
-                 Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita dan Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Buddha.
-                 Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
-                 Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
Anagarika adalah orang awam buddha yang dikui memiliki pengethuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran Budha Gautama.[9]
Tugas kelompok Buddha awam selanjutnya adalah dapat diuraikan misalnya seorang orang tua harus dapat mengendalikan sikap dan akhlak anak-anaknya, mengajarkan kepada anaknya terhadap hal-hal yang baik dan melarang melakukan perbuatan yang jahat, mengajarkan ilmu pengetahuan serta mencarikan jodoh yang baik. Para anak harus mematuhi segala apa yang diperintahkan orang tuanya, merawat sesuatu yang menjadi miliknya, melayakkan diri untuk menjadi ahli waris, dan seterusnya. Para guru harus memberikan pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan kepada muridnya, sedang seorang murid harus menghormati gurunya dan lain sebagainya.[10]

E.     KESIMPULAN  - BAGAIMANA CARA MEMPERLAKUKAN AJARAN BUDDHA?
            Mengenal lebih dekat ajaran Buddha merupakan suatu kebahagiaan dan keberuntungan bagi umat manusia. Namun bagaimana cara kita harus memperlakukan ajaran Buddha? Tak dapat dipungkiri bahwa keyakinan yang mendalam terhadap ajaran Buddha bisa jadi malah menyebabkan fanatisme yang membelenggu. Oleh karena itu Buddha Gautama bersabda:
“Perlakukan Dharma [Ajaran Buddha] yang Kuajarkan sebagai rakit yang digunakan untuk menyeberangi sungai dan bukan untuk terus engkau pegangi saja. O, biksu bila kamu mengerti dengan  baik ajaranku yang dapat diumpamakan sebagai rakit maka kamu seharusnya tidak lagi melekat kepada hal-hal yang baik, terlebih lagi kepada hal – hal yang tidak baik”.
Alagaddupama Sutta, Kitab Majjhima Nikaya 22 [11]


DAFTAR PUSTAKA

*      Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
*      Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
*      Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010.
*      Hansen, Upa. Sasanasena Seng . Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.   Cet. Ke-2. 2008

Presentasi mengenai pembahasan ini disampaikan pada tanggal 19 April 2013, oleh Ifa Nur Rofiqoh.


[1] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 234
[2] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 129
[3] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 236
[4] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 130
[5] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 237
[6] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010), h. 83
[7] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010), h. 84
[8] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 131
[9] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 239
[10] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, cet. X, 2010), h. 85
[11] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production, 2008). h. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar