Senin, 03 Juni 2013

Vinaya pitaka, Sutta pitaka, Abidhamma pitaka dan bagian-bagiannya.


A.    SEJARAH TIPITAKA

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.[1]
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana.[2] Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu, sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Dalam Sidang Agung ketiga ini, ajaran Abhidhamma diulang secara terperinci, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri atas tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala. Golongan para bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.[3]
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.

Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

SKEMA KITAB TIPITAKA








B.     KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pâli dan Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal sebagai 'pitaka' atau 'keranjang', yaitu :
1.Vinaya Pitaka
2. Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka
Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pâli) atau Tripitaka (sansekerta).
Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).
1.         VINAYA PITAKA

Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka, dan
3. Parivâra.
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
Kitab Khandhaka terbagi atas Mahâvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan calon bhikkhu (sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Vinaya Pitaka, bagian pertama dari Tipitaka, adalah landasan tekstual dimana komunitas monastik (Sangha) dibangun. Bukan hanya berisi tentang aturan-aturan yang mengatur kehidupan dari bhikkhu (biarawan) dan bhikkhuni (biarawati) Theravada, tetapi juga berisi prosedur dan konvensi etika yang mendukung hubungan harmonis, bagi para anggota monastik itu sendiri, dan antara anggota monastik dan umat awam yang menyokongnya, dimana kepada mereka kebutuhan materialnya bergantung.
Ketika sang Buddha pertama kali mendirikan Sangha, komunitas tersebuat awalnya hidup dengan harmonis tanpa ada aturan yang tersusun. Seiring dengan Sangha perlahan berkembang menjadi besar dan berubah menjadi komunitas yang lebih kompleks, kejadian-kejadian tidak dapat dihindari untuk terjadi ketika seorang anggota bertindak dengan tidak terampil. Ketika salah satu dari kasus ini laporkan kepada Sang Buddha, beliau akan mengeluarkan aturan untuk memberikan hukuman untuk pelanggaran itu, untuk mencegah perbuatan salah tersebut lagi dimasa yang akan datang. Teguran standar Sang Buddha sendiri sangat membangun.
Hal itu tidak layak, manusia bodoh, hal itu tidak cocok, hal itu tidak pantas, hal itu tidak layak bagi seorang petapa, hal itu tidak sesuai aturan, hal itu tidak seharusnya dilakukan. Bagaimanakah engkau, manusia bodoh, telah "pergi melepas keduniawian" dibawah Dhamma dan Disiplin (Vinaya) ini yang telah diajarkan dengan baik. [melakukan hal itu dan pelanggaran itu]?... Hal itu tidak, manusia bodoh, untuk kebaikan mereka yang tidak percaya, ataupun untuk menambah jumlah mereka yang percaya, tetapi, manusia bodoh, hal itu merusak bagi kedua pihak yang tidak percaya dan percaya, dan hal itu menyebabkan keraguan bagi beberapa.
- Buku Disiplin, Bagian I, oleh I.B. Horner (London: Pāi Text Society, 1982), pp. 36-37
Tradisi monakstik dan aturan-aturan yang dibangun diatasnya terkadang dikritik dengan polosnya - khususnya disini di Barat - sebagai hal yang tidak relevan dalam praktek "Modern" Buddhisme. Beberapa melihat Vinaya sebagai kembalinya kepada patriarki kuno, berdasarkan pada aturan dan kebiasaan kuno yang kacau - relik kultural yang antik yang hanya mengaburkan esensi praktik Buddhis "sejati". Pandangan salah ini mengabaikan satu fakta penting: terima kasih kepada garis silsilah monastik yang tak terputus yang telah secara konsisten menegakkan dan menjaga aturan-aturan Vinaya hampir selama 2,600 tahun yang sekarang ini kita dapatkan dengan kemewahan untuk menerima ajaran Dhamma yang tak ternilai. Jika bukan karena Vinaya, dan mereka yang terus menjaganya sampai hari ini, maka tidak akan ada Buddhisme. Vinaya itu membantu mengingatkan kita bahwa nama yang Sang Buddha berikan untuk jalan spiritual yang beliau ajarkan adalah "Dhamma-vinaya" - Doktrin/Ajaran (Dhamma) dan Disiplin (Vinaya) - memberi kesan sebuah tubuh terintegrasi dari kebijaksanaan dan latihan etikal. Vinaya adalah sebuah sisi dan landasan yang sangat diperlukan untuk semua ajaran Sang Buddha, tidak dapat dipisahkan dari Dhamma, dan layak dipelajari oleh semua pengikut - umat awam dan monastik. Praktisi awam akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dalam Vinaya Piaka tentang karakteristik manusia, petunjuk bagaimana membuat dan menjaga komunitas atau organisasi yang harmonis, dan banyak ajaran-ajaran Dhamma yang dalam. Tetapi nilai yang terbesar, mungkin, berada pada kekuatan untuk menginspirasi umat awam untuk mempertimbangkan kemungkinan yang diberikan dengan sebuah kehidupan pelepasan sejati, sebuah hidup yang dijalani sepenuhnya sesuai dengan Dhamma.[5]



2.SUTTA PITAKA
Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu :

1.Dîgha Nikâya,
merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).
o        Bramajala Sutta: "Jala para Brahma" Sang Buddha bersabda bahwa Beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau memberikan sebuah daftar berisi 62 bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi dari guru-guru lain.

o    Samannaphala Sutta: "Pahala yang dimiliki oleh tiap pertapa". Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, Beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang Bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat Arahat.

o    Ambattha Sutta: Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.

o    Kutadanta Sutta: Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.

o    Mahali Sutta: Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi dari pada ini adalah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.

o    Kassapasihanada Sutta: Percakapan dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.

o    Tevijja Sutta: tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.

o    Mahapadana Sutta: Penjelasan Sang Buddha mengenai 6 orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.

o    Mahanidana Sutta: mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.

o    Mahaparinibbana Sutta: cerita tentang hati-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.

o    Sakkapanha Sutta: Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan 10 persoalan dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.

o    Maha Satipatthana Sutta: Khotbah mengenai 4 macam meditasi (mengenai badan jasmani, perasaan, pikiran dan Dhamma) disertai penjelasan mengenai 4 Kesunyataan.

o    Payasi Sutta: Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di surga dan melihat keadaannya.

o    Pitika Sutta: cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula banda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.

o    Cakkavattisihanada Sutta: cerita tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta tentang Buddha Metteyya yang akan datang.

o    Aganna Sutta: perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.

o   Sampasadaniya Sutta: percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Sang Buddha. Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.
o    Lakkhana Sutta: Penjelasan mengenai 32 tanda "Orang Besar" (Raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi 20 bagian; tiap bagian dimulai dengan "Disini dikatakan".
           
o   Sigalovada Sutta: Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu adalah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, guru, sahabat dan lain-lain).

2.MajjhimaNikâya.[6]
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah.
Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.
o    Mulapariyaya Sutta: pelajaran mengenai akar segala benda mulai dari unsur-unsur sampai Nibbana.

o    Satipatthana Sutta: sama dengan di Digha Nikaya, tetapi tanpa ulasan mengenai 4 Kesunyataan.

o    Kakacupama Sutta: "Tamsil Gergaji". Perihal tidak marah jika dihina. Seorang Bhikkhu yang marah seandainya anggota badannya digergaji satu demi satu bukanlah siswa Sang Buddha.

o    Alagaddupama Sutta : "Tamsil seekor ular air". Seorang Bhikkhu dimarahi karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran. Mempelajari Dhamma secara tidak benar bagaikan manangkap seekor ular pada ekornya.

o    Cula Saccaka Sutta : diskusi umum antara Sang Buddha dan seorang Jain Saccaka mengenai lima khandha seseorang.

o    Maha Saccaka Sutta : mengenai perenungan atas nama dan rupa, dengan penjelasan oleh Sang Buddha tentang ia meninggalkan keduniawian, pengendalian nafsu dan penerangan sempurna.

o    Seleyyaka Sutta : khotbah kepada para Brahmana dari Sala mengenai sebab-sebab mengapa makhluk ada yang memasuki surga dan ada yang menuju neraka.

o    Vedalla Sutta (Maha dan Cula) : 2 khotbah dalam bentuk komentar atas istilah-istilah kejiwaan. Yang pertama oleh Sariputta kepada Mahakotthita dan yang kedua oleh Bhikkhuni Dhammadinna kepada upasaka Visakha.

o    Brahmanimantanika Sutta : Sang Buddha menceritakan kepada para Bhikkhu bagaimana Beliau pergi ke surga Brahma untuk memberi pelajaran kepada Baka, yakni salah satu penghuni surga, tentang ketidakbenaran pendapat tentang kekekalan.

o    Maratajjaniya Sutta: cerita tentang Mara yang menyelusup dalam perut Moggallana. Moggallana memerintahkan keluar dan memberikan pelajaran dengan mengingatkannya akan suatu masa ketika Moggallana sendiri terlahir sebagai Mara bernama Dusi dan Mara adalah kemenakannya.

o    Kandaraka Sutta: percakapan dengan Pessa dan Kandaraka dan khotbah tentang empat jenis orang.

o    Jivaka Sutta: Jivaka mengajukan pertanyaan apakah benar Sang Buddha menyetujui pembunuhan dan memakan daging. Sang Buddha menunjukkan dengan contoh bahwa itu tidak benar dan bahwa seorang bhikkhu makan daging hanya jika ia tidak melihat, mendengar dan menduga bahwa daging itu khusus dibuat untuknya.

o    Upali Sutta: cerita tentang Upali yang diutus oleh pemimpin Jaina Nataputta untuk berdebat dengan Sang Buddha, tetapi akhirnya menjadi pengikut.

o    Kukkuravatika Sutta: percakapan mengenai kamma antara Sang Buddha dengan dua orang pertapa, yang satu diantara mereka hidup seperti anjing dan satu lagi seprti lembu.

o    Abhayarajakumara Sutta: Pangeran Abhaya diutus oleh seorang Jain Nataputta untuk membantah Sang Buddha dengan megajukan pertanyaan berganda tentang kutukan hebat yang diterima oleh Devadatta.

o    Bahuvedaniya Sutta: mengenai penggolongan perasaan-perasaan dan perasaan tertinggi.

o    Maha Rahulovada Sutta: nasehat kepada Rahula tentang pemusatan pikiran dengan jalan menarik dan mengeluarkan napas serta memusatkan pikiran kepada unsur-unsur.

o    Ratthapala Sutta: cerita mengenai Ratthapala yang kedua orang tuanya tidak menyetujui ia memasuki Sangha dan membujuknya untuk kembali menjadi umat biasa.

o    Makhadeva Sutta: cerita mengenai Sang Buddha dalam kehidupannya di masa lampau sebagai Raja Makhadeva dan keturunannya sampai Raja Nimi.

o    Angulimala Sutta: cerita mengenai Angulimala, penyamun yang kemudian menjadi Bhikkhu.

o    Piyajatika Sutta: nasehat Sang Buddha kepada seorang laki-laki yang kehilangan anak dan pertengkaran antara Raja Pasenadi dan permaisurinya mengenai hal itu.

o    Brahmayu Sutta: mengenai 32 tanda pada tubuh Sang Buddha dan penerimaan Brahmana Brahmayu sebagai pengikut Buddha.

o    Sela Sutta: Pertapa Keniya mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk jamuan makan. Brahmana Sela melihat 32 tanda dan menjadi siswa. (Ini terdapat pula dalamSn III 7).

o    Vasettha Sutta: Khotbah yang sebagian besar dalam bentuk syair mengenai brahmana sejati, baik karena kelahiran maupun perbuatan (ini terdapat pula dalam Sn IIII 9).

o    Subha Sutta: mengenai soal apakah seseorang dapat berbuat kebaikan lebih banyak sebagai kepala keluarga atau dengan jalan meninggalkan keduniawian.

o    Isigili Sutta: Sang Buddha menjelaskan nama bukit Isigili dan menyebutnya nama-nama Pacceka Buddha yang dahulu tinggal di sana.

o    Maha Cattarisaka Sutta: penjelasan mengenai Jalan Mulia Beruas Delapan dengan tambahan mengenai pengetahuan yang benar dan emansipasi yang benar.

o    Anapanasati Sutta: perihal cara dan jasa melatih meditasi masuk dan keluarnya napas.

o    Kayagatasati Sutta: perihal cara dan jasa meditasi badan jasmani.

o    Cula Kammavibhanga Sutta: Sang Buddha menerangkan sifat-sifat batin dan jasmani orang yang berbeda-beda dan keberuntungan mereka menurut kamma.

o    Maha Kammavibhanga Sutta: seorang pertapa secara keliru menuduh bahwa Sang Buddha mengatakan kamma tidak berguna dan Sang Buddha menerangkan pandangannya sendiri.

o    Dhatuvibhanga Sutta: uraian mengenai unsur-unsur. Khotbah ini dimasukkan dalam cerita Pukkusati, seorang siswa yang belum pernah melihat Sang Buddha akan tetapi mengenalinya melalui ajarannya.

o        Dakkhinavibhanga Sutta: Mahapajapati menghadiahkan satu pasang jubah kepada Sang Buddha, yang menjelaskan berbagai jenis orang yang patut menerima pemberian dan berbagai jenis orang yang memberi.

3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan. [7]

o    Ekaka Nipata: (yang serba satu) misalnya pikiran terpusat/tidak terpusat; usaha ketekunan Sang Buddha dan sebagainya.

o    Duka: (yang serba dua), dua jenis kamma vipaka yaitu yang membuahkan hasil dalam kehidupan sekarang maupun yang membawa kepada tumimbal lahir dan seterusnya; dua jenis dana; dua golongan Bhikkhu dan sebagainya.

o    Tika: (yang serba tiga), tiga pelanggaran melalui jasmani, ucapan dan pikiran; tiga perbuatan yang patut dipuji yaitu kedermawanan, penglepasan, dan pemeliharaan orang tua; dan sebagainya.

o    Catuka: (yang serba empat), empat jenis orang yaitu tidak bijaksana dan tidak beriman; tidak bijaksana tapi beriman; bijaksana tapi tidak beriman, bijaksana dan beriman; empat jenis kebahagiaan (empat Brahma Vihara, empat sifat yang menjaga Bhikkhu dari kekeliruan); empat cara pemusatan diri dan sebagainya.

o    Pancaka: (yang serba lima), lima ciri yang baik dari seorang siswa; lima rintangan batin; lima obyek meditasi; lima sifat buruk; lima perbuatan baik; dan sebagainya.

o    Chakka: kewajiban rangkap enam dari seorang Bhikkhu.

o    Sattaka: tujuh jenis kekayaan; tujuh jenis kemelekatan.

o    Atthaka: delapan sebab kesadaran; delapan sebab pemberian dana; delapan sebab gempa bumi.

o    Navata: sembilan perenungan; sembilan jenis manusia.

o    Dasaka: sepuluh perenungan, sepuluh jenis penyucian batin.

o    Ekadasaka: sebelas jenis kebahagian / jalan menuju nibbana; sebelas sifat-sifat baik dan buruk dari seorang pengembala dan Bhikkhu.





4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
Bebebapa samyutta diantaranya sebagai berikut:[8]

o    Mara: perbuatan-perbuatan bemusuhan dari Mara terhadap Sang Buddha dan para siswaNya.

o    Bhikkhuni: bujukan yang tidak berhasil dari Mara terhadap para bhikkuni dan perbedaan pendapatnya dengan mereka.

o    Brahma: Brahma Sahampati memohon Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma kepada dunia.

o    Sakka: Sang Buddha menguraikan sifat-sifat Sakka, Raja para Dewa.

o    Nidana Samyutta: penjelasan mengenai Paticcasamuppada (doktrin sebab musabab yang saling bergantungan).

o    Abhisamaya: dorongan untuk membasmi kekotoran batin secara tuntas.

o    Khandha Samyutta: kumpulan unsur, fisik dan mental yang membentuk individu.

o    Kilesa: kekotoran batin muncul dari enam pusat indria dan kesadaran indria.

o    Vedana: tiga jenis perasaan dan sikap yang benar terhadap perasaan itu.

o    Citta: alat indria dan obyeknya pada hakekatnya tidak jahat, melainkan kehendak-kehendak tidak baik yang timbul melalui kontak mereka.

o    Asankhata: tidak terbentuk (Nibbana)

o    Magga Samyutta: jalan beruas delapan.

o    Bojjhanga: tujuh faktor Penerangan Agung.

o    Satipatthana: empat dasar kesadaraan.

o    Indriya: lima kemampuan

o    Sammappadhana: empat macam usaha benar.

o    Bala: lima kekuatan.

o    Iddhipada: empat kekuatan batin.

o    Anuruddha: kekuatan-kekuatan gaib yang dicapai oleh Anuruddha melalui kesadaran.

o    Jhana: empat jhana.

o    Anapana: kesadaraan dari pernapasan.

o   Sotapatti: gambaran tentang seorang "penakluk arus".
o   Sacca: empat kesunyataan mulia.


5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu :
a. Khuddakapâtha, berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra, Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.

b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

c. Udâna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.

d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavâ (demikianlah sabda Sang Bhagavâ).

e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.

f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.

g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.

h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.

i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.

j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta; sedang Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipâta.
l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathâ).
m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.

n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.

o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.

p. Nettippakarana (hanya pada Tipiṭaka Bahasa Burma)
q.      Peṭakopadesa (hanya pada Tipiṭaka Bahasa Burma).
r.        Milindapañha — Pertanyaaan Milinda (hanya pada Tipiṭaka edisi Birma)

Singkatan Dan Penomoran [9]

Umumnya dalam merujuk sebuah Sutta, digunakan penomoran dan singkatan dari Nikāya-nya. Sebagai contoh,
·     DN 5, artinya Dīgha Nikāya, Sutta no. 5
·     SN 45.10, artinya Saṃyutta Nikāya, Saṃyutta nomor 45, Sutta Nomor 10
Berikut ini adalah daftar singkatan yang digunakan,
·     DN = Dīgha Nikāya
·     MN = Majjhima Nikāya
·     SN = Saṃyutta Nikāya
·     AN = Anguttara Nikāya
·     KN = Khuddaka Nikāya
·     Khp = Khuddakapāṭha
·     Dhp = Dhammapada
·     Ud = Udāna
·     Iti = Itivuttaka
·     Snp = Suttanipāta
·     Vv = Vimānavatthu
·     Pv = Petavatthu
·     Thag = Theragātha
·     Thig = Therigātha
·     Miln = Milindapañha





3.      ABHIDHAMMA PITAKA[10]
    Ketika Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika. Jadi merupakan penyajian khusus tentang Dhamma seperti yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Pada umumnya, isinya terdapat dalam sutta-sutta akan tetapi yang diuraikan dalam bagian ini adalah bentuk yang terperinci. Kitab ini terdiri atas 7 buah buku (pakara), yaitu:
1.     Dhammasangani: perincian Dhamma-Dhamma, yakni unsur-unsur atau proses-proses batin.
2.     Vibhanga: perbedaan atau penetapan. Pendalaman mengenai soal-soal dalam Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi 8 bab (vibhanga) dan masing-masing mempunyai 3 bagian.
3.     Dhatukatha: penjelasan mengenai unsur-unsur, yaitu mengenai unsur-unsur batin dan hubungannnya dengan kategori lain. Buku ini terbagi menjadi 14 bagian.
4.     Puggalapannatti: penjelasan mengenai orang-orang, terutama menurut tahap-tahap pencapaian merka sepanjang Jalan. Dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai sepuluh, seperti sistem dalam Kitab Anguttara Nikaya.
5.     Kathavatthu: pokok-pokok pembahasan, yaitu pembebasan dan bukti-bukti kekeliruan dari berbagai sekte (aliran-aliran) tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. Terdiri atas 23 bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha).
6.     Yamaka: kitab pasangan, yang oleh Geiger disebut logika terapan. Pokok masalahnya adalah psikologi dan uraiannya disusun dalam pertanyaan-pertanyaan berpasangan. Kitab ini terbagi menjadi 10 bab yang disebut Yamaka.
7.     Patthana: kitab hubungan, yaitu analisa mengenai hubungan-hubungan (sebab-sebab dan sebagainya) dari batin dan jasmani yang berkenaan dengan 24 paccaya (kelompok sebab-sebab).
Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana, dan mudah dimengerti oleh umum. Pada dewasa ini sudah banyak bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam Bahasa Indonesia misalnya Kitab Dhammapada; beberapa Sutta dari bagian Sutta Pitaka lainnya; beberapa bagian dari Vinaya Pitaka dan juga beberapa bagian (buku) dari Abhidhamma Pitaka.

   
















DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Agama-agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 1988

Guide to tipitaka, Buddha ebook. U Ko Lay.Buddha Dharma
Association inc.



http://mitta.tripod.com/kitab.htm

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/

http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html

T. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana Indonesia. 1995


[1] http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[2] Ibid
[3] http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/

[4] http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/
[5] http://dhammacitta.org/dcpedia/Vinaya_Pi%E1%B9%ADaka
[6] ibid
[7] ibid
[8] Ibid
[9] http://dhammacitta.org/dcpedia/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka
[10] http://sudhammacaro.blogspot.com/2012/09/abhidhamma-pitaka.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar