Rabu, 05 Juni 2013

HINAYANA DAN MAHAYANA





Oleh:
Noviah ( 1111032100045)





       I.            PENDAHULUAN
            Agama Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai internasional, yakni di Sumatra dan Jawa.
            Dalam sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeriTiongkok dan India datang belajar bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[1].

    II.            DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar yaitu Aliran Selatan/Hinayana/Theravada dan Aliran Utara/Mahayana.
1.      ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam.
 Prinsip-prinsip pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga “Theravada” yang lebih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [2]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidakk menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kurang dianggap penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan bathin[3].
Para sarjana-sarjana modern, saat ini banyak yang mencurahkan perhatiannya pada Agama Buddha dan menyelidiki kebenaran-kebenaran dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah disabdakan 25 abad yang lalu.
Agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena kedua-duanya bersumber pada kesunyataan yang ada di dalam dunia ini. Dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang telah dapat dicapai oleh umat manusia, maka kita akan lebih yakin lagi akan kebenaran-kebenaran yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita.
v  Ajaran Hinayana
Dalam pokok ajarannya Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalama kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:
a.       Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berada untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yag berpikir, sebab yang ada adalah pikiran. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
b.      Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
c.       Tujuan hidup ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu, namun apakah yang tinggal berada di Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
d.      Cita-cita tertinggi ialah menjadi arahat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali[4].
e.       Manusia dipandang sebagai seorang individu dalam usahanya.
f.       Sebagai kunci keutamaan manusia ialah kebijaksanaan.
g.      Buddha dipandang sebagai orang suci.
h.      Membatasi pengucapan doa pada meditasi.
i.        Meninggalkan atau menolak hal-hal yang bersifat metafisis.
j.        Meninggalkan atau menolak melakukan ritus dan rituals (upacara-upacara agama)
k.      Tidak mengenal dewa-dewa Lokapala (dewa angin) atau Trimurti dan tidak mengenal beryoga atau tantra (mantra-mantra)[5].


2.      ALIRAN MAHAYANA
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang diperbaharui dengan diberi pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Asvaghosa.
Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan sebagai sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak (arti kata Mahayana adalah kereta/kendaraan besar).
Berbeda dengan Hinayana yang mempertahankan kemurnian ajaran Buddha yang tidak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran. Makin banyak kebebasan berfikir dalam agama diberikan, makin besar kecenderungan untuk berpecah belah dalam bentuk aliran-aliran (sekte-sekte)[6].
Kira-kira antara abad pertama dan kedua masehi, maka Agama Buddha di India mulai Nampak kelemahannya, disebabkan oleh perubahan zaman. Perubahan zaman meminta agar Agama Buddha dikurangi kesederhanaannya, hingga lambat laun bentuknya mendekati bentuk Hinduisme. Anasir-anasir baru ditambahkan, anasir-anasir yang berwujud Panca Dhyani Buddha dengan Panca Boddhisattvanya, beberapa dewi umpamanya dewi Tara, dewi Berkuti dan lainnya[7].
Di dalam pandangan-pandangan mengenai Buddha sendiri terdapat juga perubahan-perubahan yang penting. Bagi agama Buddha yang lama, Buddha itu tidak lain daripada seorang manusia juga, meskipun seorang guru yang termulia, yang pada akhirnya sampai pada martabat Arahat dan mencapai pencerahan Agung. Ia adalah manusia dan tetap manusia.
Di dalam hubungannya dengan mereka yang percaya kepada ajarannya, Buddha itu tidak lain daripada orang yang telah menunjukkan jalan dan pada jalan yang ditunjukannya orang harus berjalan.
Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk dari golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak diapandang sebagai Allah dalam arti yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia dianggap mempunyai sifat luar biasa dan ia makin menjadi objek pemujaan dan penyembahan[8].
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surge dan Bodhisatva yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Bodhisatva duduk bersamanya dalam meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
v  Ajaran Mahayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas mengajarkan:
a.       Seseorang dalam mencapai Nirwana tidak egoistismementingkan dirinya sendiri akan tetapi dapat saling membantu.
b.      Kunci keutamaan ialah kasih sayang yang disebut “karuna”
c.       Pencapaian tertinggi adalah Bodhisatva (orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin untuk masuk Nirwana).
d.      Buddha dipandang sebagai juru selamat mausia.
e.       Ajarannya bersifat liberal[9].
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah Bodhisatva dan Sunyata karena kedua kata itu hamper terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.
            Secara harfiah Bodhisattva berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna.
Sebelum Mahayana timbul, pengertian Bodhisattva sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Bodhisattva berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yag akan menjadi Buddha. Jadi semula Bodhisattva adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Di dalam Mahayana Bodhisattva adalah orang yang sudah melepaskan diri dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bodhisattva bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja, melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan aktivitasnya sekarang dan kelak untuk keselamatan dunia. Karena kasihnya kepada dunia maka segala kebajukannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana adalah untuk menjadi Bodhisattva. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arahat. Sebab seorang arahat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana ini juga berlainan sekali dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka Buddha, seperti yang diajarkan oleh Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya sendiri orang dapat mencapai pencerahan bagi dirinya sendiri saja, tidak untuk diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena kebajikannya seorang Bodhisattva sudah dapat mencapai Nirwana namun ia memilih jalan yang lebih panjang. Ia belum mau masuk Nirwana, dikarenakan belas kasihnya pada dunia, agar dunia dlam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan manusia) bisa mendapatkan Nirwana yang sesempurna mungkin.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bodhisattva ini, di dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentinagn orang lain. Orag yang mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah tentu berlainan sekali dengan ajaran Agama Buddha kuno, yang mengajarka bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang pajang itu seorang Bodhisattva tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam keadaan yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattva tidak diharuskan menyagkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Hal yang kedua, yang memberi cirri Mahayana ialah ajaran tentang Sunyata, yang artinya kekosongan.
Kosong (sunyata) berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti, bahwa tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong, melainkan juga Nirwana bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran yang tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tak dapat dijadikan  sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak memiliki cirri-ciri yang membedakan denga yang lain.
Di dalam perkembagannya Mahayana mengalami bermacam-macam pengaruh, diantaranya dari gerakan Bakti dan dari aliran Tantra.
Bakti adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak abad pertama Masehi, Bakti mempengaruhi Agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu makin kuat. Karena timbulnya unsure penyembahan ini berubahlah keterangan tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang Buddhis. Di dalam agama Buddha Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha, menjadi tempat perlindungan.. akan tetapi di dalam Mahayanatempat perlindungan itu ialah para Buddha, anak-anak Buddha, atau Bodhisattva dalam arti yang laus dan Dharmakarya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara mitologis[10].
Ajaran tentang  banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha, atau lima unsure yang menyusun hidup manusia. Semula diajarkan, bahwa manusia terduru dari lima skandha, yaitu: rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan dsb.), dan wijnana (kesadaran).ajaran ini diterapka kepada diri Buddha sendiri. Diajarkan bahwa Buddha juga terdiri dari lima skadha, dan tiap skandha adalah seorang tokoh Buddha, yang disebut Tathagana. Kalimat Tathagana itu ialah Wairoscana (Yang menerangi atau Yang Bersinar), Aksobhya (Yang Tenang, tak terganggu), Ratnasambhawa (Yang Dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang yang kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan yag tak binasa). Para Tathagana ini berbeda sekali keadaanya dengan Buddha yang biasa. Para Tathagana adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.
Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang , yaitu Buddha yang pertama, yang dipandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan (dhayana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhiyani Buddha, yaitu: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan amoghasiddhi.
Kesatuan tentang ajaran Buddha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam ajaran tentang tiga tubuh Buddha (trikaya).
Ketiga tubuh itu adalah: Dharmakaya, Sambhogakaya, dan Nimanakaya. Dharmakaya adalah tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaan sorgawi Dharmakaya dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakan, emanasi (pengaliran), transformasi atau pemantulan tubuh sorgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap manusia Buddha.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam sorganya Sukhawati di sebelah barat. Sebgai juruselamatnya atau Dhyani Bodhisattvanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau Utusannya adalah Gautama. Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakan oleh Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha[11].

 III.            SECARA RINGKAS PERBANDINGAN ANTARA HINAYANA DAN MAHAYANA

A.    Perbandingan antara Hinayana dan Mahayana
1)      Dalam Hinayana adalah berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan dan metafisika, adalah suatu fase belakangan dari Buddhism.
2)      Dalam Hinayana kitab sucinya berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskerta, sedang Mahayana murni dalam bahasa Sanskerta. Kitab suci Hinayana tertulis dalam bahasa Pali yang dinamakan Tipitaka, sedangkan kitab suci Mahayana tertulis dalam bahasa Sanskerta yang dinamakan Tripitaka-Mahayana dengan 12 bagiannya, Tripitaka Mahayana mencakup Tipitaka Hinayana, tetapi Tipitaka Hinayana tidak mencakup Tripitaka Mahayana.
3)      Hinayana konsepsinya mengenai non-ego (anatman) yaitu percampuran dari lima unsure elemen (Panca Skandha), yang terus berubah (anitya) atau sementara (ksanika).
4)      Dalam Hinayana pembahasan (Nirvana) ialah bersifat individu tapi haarus dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan penghancuran melainkan keadaan kekal, damai, bahagia dan bauk sekali, sementara dalam Mahayana Nirvana itu adalah perolehan dari kesempurnaan pengetahuan yaitu Prajnaparamita atau ke-Buddha-an.
5)      Dalam Hinayana Nirvana diperoleh dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran batin disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya), sedangkan Mahayana pembebasannya tidak hanya dengan pemberantasan mengenai kekotoran batin yang disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan tapi juga pembasmian mengenai ketidakjelasan mengenai ketenangan yang abadi, murni, dan kekal (jneyavarana).
6)      Dalam Hinayana pengikutnya dikenal sebagai Sravaka, yang mencari ke-Arhat-an pada akhir masa kehidupannyayaitu Nirvana, sedangkan Mahayana pengikutnya dikenal sebagai Bodhisattva, yang diajarkan untuk memperoleh Bodhi-pranidhi-citta dan Bodhi-prasthana-citta,  yaitu istilah yang pertama dimaksudkan bahwa mereka harus bernadar dan berkeinginan memperoleh Bodhi dan akhirnya menjadi Buddha, dan istilah berikutnya ialah dimaksudkan bahwa Bodhisattva harus memulai mencoba untuk mencapai kesempurnaa melalui Sad-Paramit dan Dasa-Bhumi. Tujuan Mahayana haruslah merealisasikan kebenaran tertinggi (pramita satya) yang sangat luas dan mengenai satu rasa seperti lautan dimana semua sungai kehilangan identitas mereka.
7)      Dalam Hinayana umat awamnya adalah yang terutama sebagai penunjang Sangha dan memberikan hadiah makanan, pakaian dan dengan membangun vihara untuk tempat tinggal bhiksu. Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan bhiksu dan pengamat 5 atau kadang-kadang 8 sila, sedangkan dalam Mahayana umat awamnya dicalonkan sebagai Bodhisattva, yang mempunyai tugas seperti telah dijelaskan diatas.
8)      Menurut Hinayana, Buddha hanya muncul satu kali dalam satu kalpa, sedang menurut mahayanasemua makhluk mempunyai sifat dasar atau benih-benih Buddha, secara tekhnis dikenal sebagai Tathagata-garbha (Rahim Tathagata), yang merupakan tempat perpaduan kedua-duanya yang baik dan buruk, dan hanya bilaman yang buruk itu dibasmi secara total, maka ia akan menjadi Tathagana.
9)      Mahayana, konsepsi madhyammika dan Yogacara menganggap makhluk dunia dan obyek adalah tidak kekal, sementara (ksanika), dank arena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya) atau kesadaran murni secara mutlak.
10)   Menurut konsepsi Hinayana menegnai kebenaran tertinggi ialah hanya Pudgala-sunyata, sedang Mahayana kedua-duanya yakni Pudgala-sunyata dan Dharma sunyata.
11)   Menurut Hinayana mengenai 4 tingkatan kesucian atau Jana, yaitu: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, dan arahatta, sedangkan Mahayana mengenal 10 tingkat atau Dasa-Bhumi (menurut Bodhisattva-Bhumi ada 12) mulai Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan sempurna dan menjadi Buddha.

B.     Persamaan antara Hinayana dan Mahayana
1)      Memusnahkan kemelekatan, kebencian, dan khayalan ataun ilusi (raga, dvesa, moha).
2)      Dunia tiada permulaan atau awal (anamaggo-ayam-samsaro) begitu juga akhir.
3)      Empat Kesunyataan Mulia atau Kebenaran Utama, dukha, samudaya, nirodha, marga, dan 8 Jalan Utama.
4)      Semua makhluk dunia dan obyek adalalah tidak kekal (anatiya), bersifat sebentar (ksanika)  dan di dalam keadaan terus-menerus berubah (Santana), dan tanpa adanya sesuatu substansi nyata (anatmakam).
5)      Hukum Sebab-Akibat yang saling bergantungan (pratitya-samutpada) adalah berlaku secara universal.

C.     Perbedaan antara Hinayana dan Mahayana
TH.Stcherbatsky, Ph.D. di dalam bukunya The Conception of Buddhist Nirvana (With Sanskrit Text of Madhyamaka-Karika), menjelaskan perbedaan antara Hinayana dan Mahayana secara garis besar sebgai berikut:
1)      Perbedan di dalam interpretasi mengenai Pratiyasamutpada,
2)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Nirvana,
3)      Perbedaan di dalam tujuan akhir,
4)      Perbedaan yang berhubungan dengan usaha untuk pencapaian Nirvana,
5)      Perbedaan yang berhubungan dengan penghapusan mengenai avaranas atau rintangan,
6)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Dharma,
7)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Buddhology,
8)      Hinayana intelektual, Mahayana intelektual juga bakti-puja,
9)      Hinayana pluralistic, Mahayana non-dualistik,
10)  Hinayana rasionalistik, Mahayana gaib[12].


 IV.            RITUAL DAN PRAKTEK BUDDHA MAHAYAA DAN HINAYANA

1.      Persembahan Barang dalam Sembahyang
Buddhism Mahayana dlam prakteknya menuntun atau membimbing umatnya untuk menghayati dan merealisasikan Buddha Dharma dengan dua cara, yaitu:
a.       Cara sulit, dengan belajar Dharma dari Sutra-Sutra dan Sastra suci serta meditasi.
b.      Cara praktis (Upaya-Kausalya), dengan cara sembahyang atau puja-Bakti.
Kedua cara ini maksudnya untuk pengolahan batin supaya alam spiritual miliknya berkembang secara perlahan-lahan di dalam jalan menuju penerangan atau pencerahan, makna Ti-Kaya.
            Untuk Buddha Mahayana biasanya melakukan persembahan barang dalam sembahyag di depan altar Buddha atau Bodhisattva atau Tuhan Yang Maha Esa berupa:
1.      Dupa atau hio,
2.      Lilin merah,
3.      Air minum mineral,
4.      Bunga-bunga,
5.      Buah (bermacam-macam buah).
Persembahan barang dalam sembahyang secara lengkap di atas biasanya dilakukan pada Hari Upavasatha dan dengan makan makanan nabati. Persembahan barang boleh juga dari sayuran yang dimasak, manisan buah, kacang, kue, dan lain-lainnya asalkan barangnya bukan dari bahan atau langsung dari daging atau makhluk bernyawa/hewan ternak. Jangan persembahkan barang berupa kemenyan, minuman mengandung alcohol, minyak wangi (minyak colognette), rokok cerutu (lisong).
2.      Makna dari Barang Persembahan
Agama Buddha merupakan sekteris, tiap jenis barang persembahan mempunyai makna tersendiri secara filsafat dan keyakinan iman menurut sekte masing-masing. Secara umum jenis barang persembahan mempunyai makna, yaitu:
1.      Dupa atau hio: dengan wangi khasnya guna membersihkan udara dan lingkungan (Dharma-Dhatu), mengundang langsung secara batin atau hati nurani ke hadapan Hyang Thatagana, Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisattva Mahasattva, dan para Deva dan Devi (makhluk halus yang suci).
2.      Lilin merah: lilin merah yang dinyalakan memberikan penerangan bermakna supaya kita diberikan penerangan, menerangi jalan kehidupan dan penghidupan diwaktu sekarang, Buddha Dharma menerangi rohani kita, pikiran kita, secara perlahan-lahan kita dibawa kejalan penerangan, pencerahan.
3.      Air minum mineral (air minum yang telah dimasak): persembahan air mempunyai makna agara pikiran kita, ucapan kita, dan perbuatan kita bersih selalu, membersihkan kotoran batin atau hati nurani kita. Belajar dari sifat air, supaya kita bersikap rendah hati bukan rendah diri, sabar tapi mempunyai prinsip untuk maju, rohani kita atau spiritual kita bertambah maju.
4.      Bunga-bunga: bunga mekar memberikan harum, melambangkan keindahan dan ketidakkekalan. Harum bunga yang tercium oleh hidung kita karena terbawa oleh hembusan angin dari arah yang berlawanan. Angin yang bertiup dari arah timur, harum bunga tercium oleh kita dari sebelah barat. Harum nama kita keseluruh penjuru tidak terhalang waktu dan ruang.
5.      Buah: prsembahan buah mempunyai makna jangan membunuh makhluk hidup.buah boleh dimakan, tapi bijinya bisa ditanam dan dia akan tumbuh bereksistensi seperti semula lagi.

3.      Cara Sembahyang
Sebelum mengambil dupa untuk sembahyang, tangan bersih terlebih dahulu. Mengeluarkan dupa dan menyalakannya tidak boleh langsung diatas altar di hadapan ruphang (Buddha; Bodhisattva; Deva/Devi), dan memadamkan api dari dupa tidak dengan ditiup melalui mulut. Dengan tangan kanan mengeluarkan dupa dari tempatnya atau bungkusnya, setelah dupa dinyalakan, cara memegangnya yaitu jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan mengapit dupa, ujung kaki dupa sampai ke ibu jari kanan, jari telunjuk dan jari tengah dan ibu jari dari tangan kiri berada di dalam dengan posisi yang sama dari yang kanan. Ber-namaskara (weng sin) tiga kali, dupa dipegang pada posisi tersebut di mulai dari depan hati lalu tempelkan ibu jari di depan dahi. Dengan membaca mantra untuk membersihkan tempat, membersihkan jasmani dan rohani, persembahan dupa. Menancapkan dupa ke tempat dupa (hio lo) dengan tangan kana, dan baca dalam hati mulai dengan pemasangan dupa ditengah (mengucapkan di dalam hati; ku mencintai alam semesta/dunia ini), lalu dupa yang kedua di sebelah kanan (dengan ucapan; aku berusaha menjalankan sila), lalu dupa yang ketiga di sebelah kiri (dengan ucapan; aku berusaha menolong semua makhluk hidup yang memerlukan pertolongan). Sebelum memasangkan dupa boleh mengucapkan nama-nama para Buddha, Bodhisattva, dari tiga masa waktu dan di sepuluh penjuru bertururt-turut sebanyak tiga kali. Setelah dupa dipasang, kemudian namaskara (weng sin) tiga kali.


    V.            KESIMPULAN
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa aliran dalam agama Buddha yaitu Hinayana dan Mahayana adalah dua aliran yang berlainan. Jenis esensi aliran dan ajaran Buddha Hinayana adalah sesuai dengan keaslian ajaran Buddha. Tidak mengenal adanya dewa-dewa penyelamatmanusia. Dengan demikian maka dalam Hinayana tidak terdapat upacara-upacara keagamaan dan pemujaan terhadap yang Maha Suci. Sedangkan Buddha Mahayana mengakui adanya dewa-dewa Buddha yang masing-masing mempunyai fungsi, termasuk didalamnya dewa Lokapala. Kepercayaan demikian bersumber pada ajaran kebebasan dalam berfikir dan keterbukaan sikap yang diberikan kepada pemeluk-pemeluknya yang mendorong banyak kemungkinan untuk menerima pertukaran kebudayaan dengan unsur-unsur kebudayaan suku bangsa ajaran tersebut.

 VI.            DAFTAR PUSTAKA

Ø  Abdul Manaf, Mujahid. Sejarah agama-Agama. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1996
Ø  Arifin, Muhammad. Menguak Misteri Ajaran agama-Agama Besar. Golden Trayon Press. Jakarta: 1986
Ø  Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø  Jr, A.g Honig. Ilmu Agama. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø  T, Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddhayana Indonesia. Jakarta: 1995
Ø  Kebahagiaan Dalam Dhama. Majelis Buddhayana Indonesia. 1980


[1]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana, 1995), h. 833
[2]M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.108
[3]Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Depok: Bromo FC, 1980), h. 333
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), cet – 13, h. 91
[5] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.109
[6] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.110
[7] Kebahagiaan dalam Dhamma, (Depok: Bromo FC), h.334
[8]A.g Honig Jr, Ilmu Agama, ( Jakarta: Gunung Mulia, 2003 ), cet – 10, h.225
[9] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.111
[10] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), cet – 13, h.93
[11] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), cet – 13, h.96
[12]Suwarto.T,  Budha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h.839-842.

1 komentar: