Selasa, 04 Juni 2013

Keyakinan Terhadap Kitab Suci (Tripitaka)


Oleh :
Rini Farida (1111 0321 000 57)
A.  PENDAHULUAN

Dalam sebuah buku yang berjudul Wacana Buddha Dharma, Krishna Ananda Wijaya-Mukti mengutip sebuah ungkapan berikut:
  “Buddha Berkata, ‘ Ananda, barangkali ada diantra engkau semua yang berfikir: Berakhirlah kata-kata Guru, kita tidak mempunyai Guru Lagi. Tetapi Ananda, jangan engkau berpendapat begitu. Dharma dan Winaya yang telah aku ajarkan dan aku nyatakan bagimu semua, itulah yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah tidak ada lagi” (D. II, 154). Dharma dan Winaya tidak lain dari kitab suci agama Buddha, yang semula disampaikan secara lisan.
Begitu mendengar Buddha meninggal dunia, seorang biku yang bernama Subhadda Tua berkata kepada teman-temannya agar jangan berduka, karena mereka terbebas dari orang yang mengekang, sehingga dapat berbuat sesuka hati. Lalu biku Mahakassapa mengajak para biku untuk membacakan Dharma dan Vinaya sebelum terdesak oleh apa yang bukan Dharma dan Bukan Vinaya (Vin. 11, 284-285.)”[1]
Sebagai pendahuluan, penulis menyampaikan Terimakasih yang mendalam kepada Ibunda Dra. Hj. Siti Nadroh selaku dosen pembimbing saya dalam matakuliah Buddhisme yang telah memberikan saya kesempatan untuk berpartisipasi menyusun makalah yang berjudul “Kitab Suci Agama Buddha Dan Sejarah Kodifikasinya” ini. Kemudian saya juga ingin menyampaikan terimakasih banyak kepada seluruh penulis buku yang telah banyak membantu saya dalam menyampaikan sedikit pengeahuan saya tentang Materi ini, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas saya selaku mahasiswi Perbandingan Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menyadari bahwa makalah yang berada dihaadapan pembaca ini masih terdapat banyak kekurangan, patut saya  ucapkan mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Adapun segala bentuk kritik dan saran dari pembaca sangatlah berharga bagi saya sebagai pemula, karena itu sudikiranya pembaca dapat memakluminya.
Demikianlah Pendahuluan ini saya sampaikan, Harapan saya semoga Makalah yang sangat sederhana ini sedikit-banyaknya dapat bermanfaat untuk saya pribadi dan juga untuk segenap para pembaca.
Terimakasih.
                                                                        Ciputat, 13 Maret 2013


                                                                                    Penyusun
B.  KITAB-KITAB AGAMA BUDDHA

The last Message of Budha
“When I am Gone, my teaching shall be your Master and Guide”
“My years are now full ripe; the life span left is short. I will soon have to leave you, you must be earnest. O monks, be mindful and of pure virtue! Whoever untiringly pursues the Teaching, will go beyond the cycle of birth and death and will make an end of suffering.”[2]

“Bila saya telah pergi, ajaran saya akan menjadi Guru yang membimbing kalian”
“Tahun-tahun (umur) saya kini telah matang; waktu hidup saya tersisa sebentar lagi. Saya akan segera merealisasikan Parinibbana. Kalian harus bersungguh-sungguh . Wahai para bikkhu, jagalah batin dan kebajikan suci! Siapapun yang tak kenal lelah menjalani Dhamma, akan keluar dari lingkaran kelahiran dan kematian dan akan mengakhiri Dukha.”
Sebegitu jauh kitab-kitab agama Buddha yang ada, baik yang tersusun sistematis, dalam bentuk asli atau terjemahan, tertulis dalam bahasa Pali, Sansekerta, Tibet dan Cina serta dalam bahasa-bahasa lain dimana agama Buddha berkembang.
Kitab-kitab Tipitaka Pali adalah kitab yang tertua serta terlengkap. Kitab Tipitaka sebagai kitab suci agama Buddha tersusun ke dalam Vinaya Pitaka (peraturan),; Sutta Pitaka (Khotbah tetang ajaran); Abhidhamma Pitaka (Filsafat, etika dan metafisika).
Disamping kitab-kitab suci yang suci yang berbahasa Pali juga dijumpai kitab-kitab bukan kitab suci yang memakai bahasa Pali, misalnya : Milinda-panha, Netti-pakarana, Atakatha (komentar) karya Budhadatta tentang Tipitaka Pali, Jataka (oleh Budhaghosa atau Dhammapala kitab-kitab dari Srilanka seperti Dipavamsa, Mahavamsa, dan Culavamsa).
Kitab-kitab dalam bahasa Sansekerta baik yang asli ataupun turunan memberikan gambaran kepada kita beberapa materi (isi) yang berdiri sendiri dari mashab-mashab Hinayana dan Mahayana.
Kitab Lalitavistara berisi biografi yang tidak lengkap dari Sang Buddha, ditulis dalam bahasa Sansekerta campuran dan merupakan pegangan dari Mahayana serta membentuk bagian dari Vaipulya Sutra. Asvaghosa terkenal dengan kitab Buddhacarita, sedangkan Saundarannandan dan Aryasura dengan kitab Jataka Mala.[3]
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan Khotbah, keterangan, perumpamaan dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak berasal dari dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya. Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang dikenal dengan pitaka atau keranjang, yaitu Vinaya pitaka, Suttra pitaka, dan Abidharma pitaka.[4]
Selain pengelompokkan diatas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dikelompokkan menjadi kitab Sutra dan Sastra. Kitab Sutra adalah kitab-kitab yang dipandang berisi ucapan sang Buddha sendiri, meskipun ditulis jauh sesudah Ia meninggal dunia, sedangkan kitab Sastra adalah kitab yang berisi  uraian yang ditulis oleh tokoh ternama yang biasanya disusun secara sistematis.
Sehubungan dengan sumber-sumber diatas, ada dua pandangan yang berbeda, yakni antara golongan Therevada dan  Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa hanya kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada pesamuan agung pertama tahun 483 SM. saja yang dapat dianggap sebagai diajarkan sendiri oleh sang Buddha, sedangkan golongan Mahayana, selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya, juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain sebagainya.[5]
C.     PENULIS KITAB-KITAB AGAMA BUDDHA

1.      Penulisan kitab Berbahasa Pali
Kitab Pali yang pertama kali ditulis adalah kitab suci Tipitaka pada abad pertama SM di Cylon. Sejak  saat itu banyak pula kitab-kitab lainnya yang ditulis dan mengacu pada kitab suci Tipitaka. [6]
Suatu alasan penting memberikan dan mempelajari bahasa Pali dalam memahami ajaran Buddha yang lebih mendalam. Karena bahasa ini merupakan gudang yang menyimpan pengetauhan yang sangat berharga dari sejarah india kuno.
Diantara penulis kitab berbahasa Pali ke semuanya berisi hal-hal sekitar Buddha yang sampai saat ini sangat membantu kita untuk memahami ajaranNya, beberapa diantara mereka adalah Nagasena, Buddhadatta, Buddhaghosa, dan Dhammapala.
Berikut ini adalah ikhtisar kehidupan para penulis kitab-kitab agama Buddha, yang tak lain mereka adalah para Filsuf dan juga para sarjana.
Bikkhu Nagasena
Dalam kitab Milinda-panha disebutkan Bahwa bikkhu Nagasena lahir di kajangala, suatu kota yang terkenal di salah satu daerah yang dekat dengan Himalaya. Yang terletak di sebelah timur perbatasan Sonuttara. Setelah bikkhu Nagasena mempelajari ketiga kitab Weda (Hindu), sejarah dan hal-hal lain, Nagasena mempelajari ajaran-ajaran Bddha dibawah bimbingan Rohana kemudian ia masuk sangha. Selanjutnya ia dikirim ke Pataliputra (Patna) khusus untuk mempelajari ajaran-ajaran Buddha. Pada akhirnya ia berdiam di vihara Sankheyya di Sagala dan berjumpa dengan Raja Milinda (Yunani: menandros atau Menander).
Buddhaghosa
Buddhaghosa adalah komentator terkenal dari naskah-naskah dalam agama Buddha. Beberapa kitab karya Buddhaghosa adalah Mahavamsa, Buddhaoghosupatu, Gandhavamsa dan Sasanavamsa.
Pada zaman Buddhaghosa agama Buddha yang berasal dari kitab-kitab Pali sudah mulai menurun popularitasnya dan digantikan oleh kitab-kitab Sansekerta. Oleh karena itu para bikkhu kemudian berdiam di Bodh Gaya meski hingga abad ke-5 masehi dimana Buddhaghosa menjadi anggota Sangha dan tetap berpedoman pada tradisi Pali. Pada waktu itu yang memimpin Vihara adalah bikkhu Mahasthavira Revata.[7]
Dhammapala
Thera Dhammapala bertempat tinggal di Bararatittha, pesisir pantai selatan India. Karya beliau banyak merujuk  pada komentar-komentar Buddhaghosa maka dapat dipastikan bahwa Beliau lebih muda daripada Buddhaghosa.
Dharmmapala terkenal sebagai penulis Paramatthadipani yang berisi komentar atas bagian-bagian kitab Khuddaka-nikaya yang belum diselesaikan oleh Buddhaghosa, yakni Udana, There-gatha, Theri-gatha dan Cariya-pitaka.
       Di samping itu Thera Dharmmapala menulis komentar yang disebut kitab Paramatthamanjusa atau Visuddhimagga dari Buddhaghosa.
2.      Penulisan kitab berbahasa Sansekerta
Kita mengenal banyak penulis kitab agama Buddha dalam bahasa Sansekerta. Mereka antara lain adalah Asvaghosa, Nagarjuna, Buddhapalita, Bhavaviveka, Asanga, Vaubandhu, Dinnaga, dan Dharmakirti.
Asvaghosa
       Selain seorang pemikir, Bikkhu Asvaghosa juga dikenal sebagai seorang penyair dan pemikir pada zaman pemerintahan Raja Kaniska. Kitab-kitab Buddhacarita dan Sundarananda adalah dua kitab yang populer karangan Bikkhu Asvaghosa, yang berisi syair yang puitis. Naskah-naskah asli dari karya-karya tersebut diketahui oleh I-Tsing (meninggal tahun 713).
Selain dua kitab syair yang terkenal itu, Asvaghosa juga menulis  tiga buah drama (yang diketemukan di Turfan, Asia Tengah, pada awal abad ke-20). Salah satu drama tersebut adalah  Sariputraprakarana yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, yang terdiri dari 9 babak.
Nagarjuna
BikkhuNagarjuna adalah sahabat dari Raja Yajnasri Gautamiputra (166-196) dari kerajaan Satavahana. Peranan besar yang diberikan oleh Nagarjuna sebagai seorang filsuf agama adalah menentukan arah titik-balik perkembangan agama Buddha. Dalam bidang filsafat karyanya yang terkenal adalah Maddyamika-karika (Madhyamika-sastra). Nagarjuna meletakkan dasar-dasar dari ajaran Madyamika yang juga dikenal sebagai Sunya-vada[8].
Buddhapalita dan Bhavaviveka
Sthavira Buddhapalita dan Bhavaviveka keduanya merupakan eksponen aliran Sunyavada yang dasar-dasarnya diletakkan oleh Nagarjuna. Mereka hidup pada abad ke-5 dan dalam sejarah perkembangan agama Buddha mereka ini dikenal sebagai pendiri dua aliran yang mengutamakan penggunaan nalar logika dalam agama Buddha yaitu aliran Prasangika dan aliran Svantara.
Asanga dan Vasubandhu
Asanga dan Vasusbanhu adalah dua bersaudara yang hidup pada abad ke-4 serta merupakan pemikir agama Buddha yang kreatif, yang telah membawa pemikiran filsafat klasik dalam agama Buddha.
Vibhasa-sastra adalah komentar-komentar yang terdiri dari Vinaya, sutra dan Abhidharma yang disusun pada Sanghayana yang diselenggarakan  pada masa pemerintahan raja Kanishka. [9]
Dinnaga dan Dharmakirti
Nama Dinnaga memperoleh tempat terkemuka sebagai penawar logika dalam agama Buddha. Dinnaga adalah pendiri aliran Nyaya dan hidup pada awal abad ke-5. Sumber dari Tibet memberitakan bahwa Dinnaga lahir di Simha-vaktra (Kanci selatan) dari keluarga Brahmana. Sebelum menganut pandangan Mahayana, Dinnaga adalah penganut paham Vatsiputriya dari Hinayana. Beliau adalah murid Vasubandhu.
Diantara karyanya yang terbesar adalah Pramana-samuccaya, Nyaya-pravesa, Hetucakradamaru, Pramana-sastra-nyayapravesa.
Dharmakirti terkenal sebagai seorang pemikir yang suble, yang pemikirannya berpengaruh bukan saja dalam agama Buddha tetapi juga pemikiran filsafat India. karya Dharmakirti yang terkenal berjudul Pramma-varrtika ditemukan di Tibet yang aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Karya-karya yang lain dari Dharmakirti yang pada umumnya membahas ilmu pengetahuan agama Buddha terdapat dalam Prammana-viniscaya, Nyaya-bindu, Sambandha-pariksa, Hetu-bindu, Vandanyaya dan Samanantara-siddhi.[10]
D.  TIPITAKA
Sudah menjadi ketentuan umum bahwa yang menjadi kitab Suci Agama Buddha adalah Tipitaka. Demikian juga halnya di Indonesia. Hal itu telah ditetapkan dalam kongres umat Buddha Indonesia di Yogyakarta tahun 1979 yang pada waktu itu dihadiri tujuh majelis Agama Buddha dan Sangha-Sangha dari aliran Theravãda dan Mahayana ataupun aliran Theravãda yang berbaur dengan Mahayana. Kitab suci Agama Buddha (Tipitaka) yang lengkap hanyalah yang berbahasa Pali (bahasa yang dipergunakan oleh Sang Buddha dan oleh rakyat jelata suku Magadha).
Tipitaka (Sansekerta: Tripitaka) adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pali. Terdiri dari Sutta (Doktrin umun), Vinaya (kode disiplin), dan Abhidhamma (psikologi mutlak. Tipitaka dihimpun dan disusun dalma bentuknya seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak langsung dengan Sang Guru sendiri.[11]
Tipitaka terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Tiga bagian itu adalah:
Vinaya pitaka memuat hal-hal terutama berkaitan dengan aturan tata tertib bikkhu dan bikkhuni. Disini digambarkan secara rinci perkembangan bertahap sistem pengajaran Buddha. Secara tidak langsung vinaya pitaka  mengungkapkan  beberapa informasi bermanfaat mengenai sejarah masa lampau, adat India, seni, lmu pengetahuan dan lain-lain.
Pitaka ini terdiri dari lima kitab:[12]
1.      Parajika (Pelanggaran Berat)
2.      Pacittiya (Pelnggarana ringan)
3.      Mahavagga ( Kelompok Besar)
4.      Culavagga (Kelompok Kecil)
5.      Parivara  (Ikhtisar aturan)
Sutta pitaka terdiri dari ceramah-ceramah utama yang diberikan oleh Buddha sendiri dalam berbagai peristiwa. Ada juga beberapa ceramah yang disampaikan oleh murid-murid-Nya yang terkemuka, seperti Sariputta, Ananda, Maha Monggalana, termasuk beberapa Bikkhuni terkemuka seperti Khema, Uttara, Visakha dan lain-lain. Kitab ini seperti buku resep, karena wacana di dalamnya menjelaskan secara terperinci dan menyesuaikan dengan berbagai kejadian dan perangai berbagai orang yang berbeda-beda.[13]
Kitab ini dibagi menjadi lima Nikaya atau kumpulan, yaitu :
1.      Digha Nikaya  (Kumpulan Panjang)
2.      Majjhima Nikaya (Kumpulan sedang)
3.      Samyuta Nikaya (Kumpulan Ujaran Setara)
4.      Anguttara Nikaya (Kumpulan Ujarann Berurutan)
5.      Khuddaka Nikaya (Kumpulan Naskah Kecil)
Abhidhamma pitaka adalah kumpulan kitab yang palinh penting dan menarik, karena mengandung filosofi dan psikologi mendalam dari ajaran Buddha, lain dari wacana sederhana dalam Sutta pitaka.
Dalam buku yang berjudul What Buddhist Believe, K. Sri Dhammananda mengatakan bahwa Abhidhamma is analytical doctrine of mental faculties and elements: Abhidhamma adalah doktin analisis mengenai indra mental dan unsur.
E.  SEJARAH TIPITAKA
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.[14]
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain[15]
F.  Sidang Agung
Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).
1.      SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
·         Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan.
·          Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat.
·         Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
·         Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.

Tujuan Sidang:
·         Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan.
·         Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Kesimpulan/Hasil Konsili I:
·         Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.
·         Mengadili Y.A. Ananda
·         Mengucilkan Chana
·         Agama Buddha masih utuh.

2.      SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
·         Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan.
·         Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
·         Sidang diadakan di Vesali.
·         Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.

Tujuan Sidang:
·         Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
Kesimpulan/Hasil Konsili II:
·  Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju.
·   Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.

3.      SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
·         Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
·         Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
·         Sidang diadakan di Pataliputta.
·         Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan Sidang:
·         Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.
·         Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).
·          Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.

Kesimpulan / Hasil Konsili III:
·         Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor.
·         Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III.
·         Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.           
Keterangan:
·         Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
·         Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya
·         merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.

4.      SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
·         Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
·         Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
·         Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan Sidang:
·         Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Kesimpulan / Hasil Konsili IV:
·         Mengulang Tipitaka.
·         Menyempurnakan komentar Tipitaka.
·         Menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar.
Keterangan: Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda. [16]

G.KESIMPULAN
Tidak lama setelah Hyang Buddha Maha Parinirvana, berkumpullah lima ratus orang bhiksu yang telah mencapai tingkat Arahat di Rajagriha, di lereng dari salah satu lima pegunungan Himalaya. Disana mereka berkumpul untuk mengadakan Pertemuan Agung guna mengumpulkan semua khotbah yang telah diajarkan oleh Yang Maha Bijaksana. Konsili pertama dipimpin oleh Maha Kasyapa.
Ananda yang selalu mendampingi Hyang Buddha kemana saja Beliau pergi membabarkkan Dharma mempunyai ingatan yang luar biasa. Maka Ananda diminta oleh sekalian Bhiksu  yang hadir dalam pertemuan itu untuk lebih dahulu mengulangi semua khotbah yang diajarkan Hyang Buddha.
Demikianlah Ananda bersama lima ratus orang Arahat membuat semua kitab suci atau Sutra yang berisikan Dharma dari yang Maha Bijaksana dan Agung. Mereka telah memiliki karma baik di masa lampau untuk menuju Nirvana. Mereka berusaha sepenuhnya mengusai Buddha Dharma. Semua kitab suci tersebut yang ada sampai hari ini telah membantu mereka menuju Nirvana. Dan Umat Buddha juga akan melanjutkan dengan cara yang sama untuk berbuat demikian dari satu masa ke masa yang akan datang.[17]
H.                        SKEMA KITAB TRIPITAKA


I.     Daftar pustaka
1.     Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta: 1988
2.     Dhammananda, Sri. What Buddhist Believe, The Corporate Body Of The Buddha Education Foundation. Taipei,Taiwan:1993
3.     Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. Ehipassiko Foundation: 2002

6.     T. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Majlis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
7.     Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha. CV. Dewi Kayana Abadi. Jakarta:2003
8.     Wijaya-Mukti, Khrishna. Wacana Buddha-Dharma, Sangha Agung Indonesia. Jakarta: 2006


[1] Krishna Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma, hal: 119
[2] K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe, page. 39
[3] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal. 117
[4] H.A Mukti Ali, Agama-agam Di Dunia, hal. 112
[5] H.A Mukti Ali, Agama-agam Di Dunia, hal. 114
[6] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal. 128
[7] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal. 133
[8] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.136
[9] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal. 137
[10] Ibid, hal. 139
[11] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, hal. 97
[12] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, hal. 99
[13] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, hal. 101
[14] http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[16] http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[17] Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar