Oleh :
Ida zubaedah (1111032100032)
Pendahuluan
Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana adalah
sebuah sub sekte dari pada Mahayana, boleh dibilang Tantrayana adalah aspek
esoteric dari Buddhism, (Vajrayana).
Berasal dari kosa kata Sanskrit
"Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar
dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata "yana" yang
berarti wahana/kereta. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wang Shifu dengan
lugas di atas, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri
berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya
yang bertahap namun pasti, seperti tenun itu ibaratnya. Adapun tujuan akhir
dari pada Vajrayana, ialah : Mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan
tubuh fisik kita saat ini di kehidupan ini juga tanpa harus menunggu hingga
kalpa-kalpa yang tak terhitung .
Ajaran-ajaran Buddha Sakyamuni dirangkum ke
dalam Vinayana Abhidarma Sutra dan Tantra. Tantra sendiri diturunkan salah
satunya kepada Bhiksu Arya Kashyapa murid sang Buddha yang terkenal dengan
latiahn-latihan kerasnya.
1.
Tantrayana
Fase ketiga
dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (fase pertama ialah Hinayana,
dan fase kedua ialah Mayana), dan merupakan fase yang paling penting Agama
Budha di India. Fase ini mulai sekitar tahun 500 M. Dan berakhir sampai tahun
1.000 M. Yang paling menarik dalam fase ini adalah cosmical-soteriological
(yang berhubungan dengan keselamatan). [1]
sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan
utama adalah penyesuan yang harmonis dengan cosmos dan pencapaian penerangan
dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya adalah kebanyakan Sansekerta atau
Apabhramsa.
Aliran Tantra
Buddhist disebut juga Esoterik ( = Guhya Upadesa ) yang berarti secara rahasia,
tersembunyi dan mistik, sedangkan aliran Buddhist lainnya disebut Exoterik ( =
Vyakta Upadesa ) yang berarti sesuatu yang terbuka atau terlihat. Bagi aliran
Exoterik pelajarannya didasarkan pada Tripitaka dan untuk mencapai ke-Buddha-an
adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi aliran Esoterik pencapaian
ke-Buddha-an hanya dalam sekejap, melakukan upacara atau ritual (Vidhi )
merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk dapat mengerti ajaran
Tantra Buddist dikarenakan begitu rumit dan kompleks dalam perkembangannya.
Oleh karenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk membimbing calon siswa
tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran Exoterik dengan cukup barulah
dapat mengerti ajaran Esoterik secara baik.[2]
Emapat tingkatan Tantra;
1) Kriya
Tantra; bersifat keupacaraan dan bakti, keyakinan atau saddha lebih menonjol
dibandingkan prajna.
2) Caryatantra;
keyakinan dan Prajna seimbang.
3) Yogatantra;
proses kontemplatif dan analitik lebih berkembang serta serta tumbuhnya
perasaan kesamaan.
4) Anutarayigantantra;
penyadaran mistik akan kenyataan bahwa nirvana dan samsara itu identik, yang
memuncak dalam rasa kesamaan mutlak.
Secara umum
Tantrayana dapat juga dikatakan bagian dari Mahayana, karena ada beberapa inti
filsafat Mahayana yang diterangkan secara Esoterik dan penuh simbolis, seperti
: Sunyata, Bodhicitta, Tatha, Vijnana.
Sebagai suatu
ajaran mistik atau gaib, kemunculan tantra tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan agama Buddha Mahayana. Munculnya Tantra sebagai suatu sistem
metafisika Buddhist bersama waktunya dengan perkembangan berbagai sistem filsafat
agama Buddha Mahayana, terutama dengan sistem Madya maka dan Yogacara, dan
interaksi antara mereka. Aspek rasional bathin tidak dapat lagi dipercaya untuk
membawa ke penerangan (Bodhi), karena landasan pemikiran rasional itu sendiri,
dunia empiris, terbukti bersifat khayal. Sistem Yogacara yang menekankan pada
pengalaman keagamaan penerangan yang disimpulkan sebagai Trikaya (Tiga Tubuh
Buddha) serta pentingnya kesadaran (Vijanana) sebagai dasar dari gerakan ke
arah penerangan, secara wajar meletakkan nilai lebih tinggi pada pengalaman
mistik dari pada pengetahuan empiris.[3]
Istilah Tantra
secara etimologis berarti ‘menenun’ atau “alat tenun”, adalah istilah yang
dipergunakan untuk mengacu pada praktek-praktek esoterik (rahasia; tersembunyi)
yang bertujuan membangkitkan sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri seseorang guna
mencapai kesempurnaan, disamping juga untuk mengacu pada kitab-kitab suci atau
sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin yang demikian.[4]
Singkatnya istilah tantrayan dapat dipergunakan untuk menunjukan sistem
keagamaan, atau sutra yang tergolong pada sistem ini.
a.
Kitab Astasahasrika-Prajnaparamita-Sutra; kitab yang tertua
dari kumpulan Prajnaparamita-Sutra, menyatakan bahwa Prajna-Paramita-Naya
Dharani, yang berasal dari selatan ( Daksinapata ) akan menyebar ke arah
Timur untuk selanjutnya berkembang ke Utara ( Uttarapatha ).
b.
Kitab Sekoddesa-Tika karya Naropa, sebuah otorita di dalam
kalacaka Tantra, menyatakan bahwa Mantrayana telah dibabarkan oleh Hyang Buddha
di Sri-Dhanyakataka.
c.
Tradisi-tradisi Buddist yang terdapat didalam literatur bahasa
Sansekerta, Mandarin, dan Tibet, semuanya menyebutkan bahwa Nagarjuna, sesepuh
Mahayana, yang mengambil ilmu esoterik dan kumpulan kitab
Prajnaparamita-Sutra dari kerajaan Naga, adalah berasal dari India Selatan.
Semua otoritas di atas selanjutnya setuju bahwa Sri Parwata merupakan pusat
kegiatan-kegiatan orang suci tersebut.
d.
Manjusrimulakalpa,
sebuah kitab tentang upacara Mantrayana, telah diketahui diketemukan dari
munalikkan Matham dekat Padmanabhuram di India Selatan.
Tantra
membawakan peranan penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangkitkansuatu
penekanan baru pada metode intuisi dan Esoterik bersama dengan perkembangan
konsepsi ke-Tuhan-an dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra
menyentuhhampir setiap sekte Agama Buddha Mahayana yang berikutnya, menjadi
inspirasi dalam perkembangan tata peribadatan dan seni Buddist. Jika kita ingin
mencari dasar logis mengenai sejarah asal mula Tantra Buddist, maka yang paling
bijaksana adalah memulainya dengan tradisi mantra, bagian integral (
kelengkapan ) dari keyakinan Tantra. Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra
terdapat dalam Agama Buddha dan Agama Hindu.
Tampaknya
terdapat berbagai tahapan dalam pengembangan bentuk mantra. Pertama sebuah
sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (
ikhtisar ). Selanjutnya hrdaya diringkas menjadi dharani yang
hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang gilirannya diringkaskan
lebih lanjut menjadi bentuk mantra yang hanya terdiri dari atas beberapa
suku kata. Akhirnya mantra tersebut disingkat kembali menjadi bija-mantra
( benih mantra ), yang hanya terdiri dari satu suku kata tunggal.[5]
Konsep mantra
pada pokoknya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda, nada )
sebagai suatu sumber kekuatan atau sebagai kekuatan itu sendiri, yang memiliki
pengaruh kuat terhadap organisme manusia dean alam semesta. Ini berarti
pengakuan akan adanya hubungan misteri tertentu antara evolusi kosmik dan
suara. Suara dipersamakan dengan kekuatan dibelakang kosmos. Manusia dipandang
sebagai miniatur alam semesta. Alam semesta adalah makrokosmos dan manusia
adalah mikrokosma. Kekuatan pembawaan didalam keduanya adalah sama.
Kekuatan-kekuatan yang sama itu menguasai bagian-bagian yang berhubungan dengan dua pola. Jika kekuatan ini dipersamakan
dengan suara, yakni aksara dan suku kata yang merupakan simbol-simbol kekuatan
ini, dan jika kekuatan ini dipahami didalam bentuk sifat-sifat ke-Tuhan-an,
maka mudahlah untuk menetapkan mantra tertentu pada sifat ke-Tuhan-an tersebut.[6] Tugas
seorang Saddhaka ( siswa baru ) adalah menerima kaidah-kaidah ini dan
mempraktekannya, terutama mantra-mantra, untuk menghayati identitasnya dengan
sifat-sifat ke-tuhan-an tersebut ini adalah penghayatan diri yang harus di
perjuangkan oleh seorang Saddhaka sejati. Mantra berfungsi sebagai
pembantu untuk penghayatan terhadap tujuan teragung ini. [7]
Mantra bukanlah
bahasa sebagaimana yang telah kita pahami, karena ia tidak membawakan arti
sesuai dengan pemakaian bahasa yang wajar. Mantra adalah sumber kekuatan kosmik
yang dipahami sebagai suara. Siapa pun dan apa pun adanya keadaan tertinggi
itu, mantra mewakili energi agung tersebut, ‘kekuatan kesadaran seseorang,
kekuatan kosmik, dan kekuatan mantra adalah sama’.
Kekuatan mantra
didalam penghayatan akan kesatuan antara kosmos dan seseorang adalah suatu
proses psiko-fisik di mana mantra berfungsi sebagai pembantu. ‘tanpa
konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan’. Mantra
bukan bersifat magis belaka. Mantra adalah ajaran pembudidayaan diri,
pengembangan mental ( bhavana ), suatu cara untuk merealisasikan pribadi
agung ( adhyatma ). Mantra membantu seseorang saddhaka membebaskan
pikirannya dari hal-hal duniawi, yang dengan demikian mencapai obyek
pemujaannya dan merasakan satu dengannya. Singkatnya; mantra adalah efektif
didalam membawa kepada pencerahan atau penerangan bathin jika dipergunakan
secara tepat.[8]
Karena itu, perkembangan ilmu mantra di dalam agama Buddha Mahayana bukanlah
suatu tanda “kemerosotan” melainkan merupakan akibat wajar dari pertumbuhan
spiritual, dalam mana setiap perkembangannya menghasilkan bentuk ungkapan
sendiri yang dibutuhkan.
Sekte
Sarvastivada memiliki kumpulan mantra yang mereka sebut Mantra-Pitaka. Begitu
juga, aliran Mahasanghika memiliki kumpulan mantra khusus demikian yang
mereka sebut Dharani-pitaka atau Vidyadhara-pitaka.
Penggunaan
judul dharani pada rumusan ke-mantra-an ini membuat pentingnya mereka sebagai
sarana meditasi menjadi lebih jelas, istilah dharani yang berasala dari
akar kata ‘dhr’ ( mempertahankan ), secara harfiah berarti ‘apa yang
melaluinnya suatu hal dipertahankan’ dan kerap kali mengacu pada ‘penyimpangan
dalam ingatan’. Menurut kitab Yogacarabhumi-Shastra, dharani
dipergunakan untuk tujuan-tujuan berikut ini :
a)
Berhubungan dengan Dharma : membantu mengingat sabda-sabda yang
terdapat didalam sutra-sutra.
b)
Berhubungan dengan arti : membantu agar tidak melupakkan arti
sabda-sabda tersebut.
c)
Berhubungan dengan tujuan magis : membantu membangkitkan
kekuatan-kekuatan magis melalui kekuatan meditasi untuk menolong
makhluk-makhluk dari kesengsaraan.
d)
Berhubungan sebagai pembantu mencapai pencerahan atau penerangan :
mengenai hakekat sebenarnya segala sesuatu.[9]
Demikianlah,
dharani telah menempati suatu kedudukan penting didalam sejarah agama Buddha
Mahayana. Di antara sutra-sutra Mahayana dini yang didalamnya mengandung
Dharani dapatlah kita sebutkan misalnya; Samdhiraja-Sutra,
Sanhinirmocana-Sutra, Suvarnaprabhasa-Sutra, Saddharmapundarika-Sutra,
Lankavatara-Sutra, dan sebagainya.[10]
Disamping mudra,
dharani, dan mantra, ciri-ciri Tantra Buddist yang tidak dapat
ditinggalkan di dalam praktek adalah Mandala yang berarti gambar-gambar
indah yang mempunyai arti mistik atau sebuah lingkaran seperti diagram
psikosmos yang didalamnya intisari kitab Tantra digambarkan dengan
aksara-aksara atau simbul-simbul visual. Gambar-gambar itu atau mandala itu
adalah : Maha-Mandala, Samaya-Mandala, Dharma-Mandala, dan Karma-Mandala.
Sekte-sekte yang utama dari Tantrayana adalah : Mantrayana, Vajrayana,
sahajayana, Kalacakrayana.[11]
2.
Mantrayana
Mantrayana
dimulia pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang
telah dilakukannya telah memperkaya Buddism dengan perlengkapan tradisi gaib.
Mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau
penerangan. Di dalam, cara ini, banyak ‘mantra, mudra, mandala, dan dewa,
ke-Tuhan-an, secara tidak sistematis diperkenalkan kedalam Buddhism, ini adalah
setelah tahun 750, diikuti oleh suatu sistematis yang dinamakan Vajrayana, yang
menyerasikan semua ajaran sebelumnya dengan satu kelompok mengenai Panca-Tathagata
( Panca Dhayani Buddha ). Dalam kurun waktu itu, arah dan system yang lebih
lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa diantara mereka adalah
Sahajayana, yang mana seperti sekte Ch’an ( Zen ) di Tiongko, lebih
menekankan kepada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, diajarkan secara
berbelit-belit, paradoksikal ( perlawanan asas ) dan kesan konkrit, dan
menghindari nasib dari kembali kedalam suatu persektean sama sekali mengenai
tidak ada ajaran yang ditegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini,
dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayan ( Roda ‘waktu’, yang
ditandai oleh tingkat penyatuan aliran ) dan oleh penekanannya pada astrology.[12]
Gerakan baru
ini timbul di India bagian Selatan dan Barat laut. Non-Indian mempengaruhi,
dari China, Asia Tengah, dan perbatasan sekitar India, memainkan suatu bagian
penting dalam pembentukannya. Juga banyak menyerap ide dari suku bangsa pribumi
India sendiri. Tantra berusaha untuk memberikan suatu kehormatan, walaupun
sub-ordinasi, peranan bagi semua semangat, bidadari atau peri, cerita, setan
atau iblis, jin, raksasa, dan hantu yang telah sering membayangi imajinasi yang
populer, dan latihan gaib yang begitu berharga pada semua fondasi yang lebih solid
di dalam masyarakat. tetapi sejauh yang elite dikaitkan, terdapat suatu
perbedaan yang penting bahwa non-Buddhist menggunakan gaib untuk memperoleh
kekuatan, sedangkan Buddhist melakukannya untuk membebaskan mereka sendiri dari
kekuatan luar dan pada keadaan sebenarnya milik mereka sendiri.
3.
Vajrayana
Ledakan kreatif dari Tantra permulaan menuju suatu asumsi yang
kompleks tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu adalah Vajrayana yang
mementukan tata cara mengenai banyak sekali tradisi yang luas dalam taraf
permulaan yang telah berkembang. Dia mengambil 5 bentuk bagian mengenai semua
kekuatan kosmik, tiap kelas ada dalam suatu pengertian yang dipimpin oleh salah
satu dari Panca-Tathagata. Nama-nama dari Panca-Tathagata ( Panca Dhani Buddha
) ialah Vairocana, Ratna-Sambhava, Amitabha, dan Amoghasiddhi. [13]
Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih.
Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa,
namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil
samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata
sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma,
bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi
penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil
samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan
(ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan
merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang
yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh
seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena
adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek
Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan
istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran
Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia.
Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan
latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah
dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka
semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.[14]
Sang Buddha
sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan
kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para
praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi
ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi
ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang
tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia,
misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin,
ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.[15]
Mazhab
Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana,
mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi
yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang
melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:[16]
1)
Pembebasan melalui proses pemakaian
2)
Pembebasan melalui proses pendengaran
3)
Pembebasan melalui proses ingatan
4)
Pembebasan melalui proses penglihatan
5)
Pembebasan melalui proses Pengecapan
6)
Pembebasan melalui proses sentuhan.
Vajrayana
memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai
pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha),
maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh
karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen,
yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang
tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas,
juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut
Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin,
menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.
Ritual dan Praktek
a. Tantrayana
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar
keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal
primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha tradisional,
praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi kekuatan,
yang dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu
dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra,
seseorang harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri
dan orang lain.
Tindakan atau
perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau
perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman
yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran.
Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai
kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat
mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara
yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau
mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan
ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat
penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup
semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang
dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena
ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari
menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan
suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih
dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak
obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap
dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan
Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari
Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di
dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya
diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut
pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari
tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi
dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim
bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang
dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan
perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai
latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan
sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan
perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual
yang ahli.[12]
b.
Mantrayana
Pokok-pokok
ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana
adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama
Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau
kesempurnaan secara spiritual.
Langkah pertama
untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil
perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang
berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha
kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua
bagian, yakni :
i.
Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian
kebuddhaan.
ii.
Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha
menuju cita-cita.
Bodhicitta
adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan
tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang
Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan
spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap
perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk
mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap,
membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan
alam sekitarnya.
Tahapan
selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru
yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra
adalah kata dalam bahasa sanskerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku
kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan
magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk
agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran
tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah
berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang
mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan
pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala
ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur)
maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur).
Catur
Paramita atau Brahma Vihara (empat keadaan batin yang luhur) terdiri dari :
i.
Metta: Cinta kasih universal.
ii.
Karuna: Welas asih, kasih sayang, belas kasihan
universal.
iii.
Mudita: Rasa simpati universal, rasa bahagia atas
kebahagiaan makhluk lain.
iv.
Upekha: Keseimbangan batin yang tak tergoyahkan.
c.
Vajrayana
Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih.
Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa,
namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil
samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata
sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma,
bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi
penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil
samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan
(ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan
merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang
yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh
seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena
adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek
Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan
istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran
Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia.
Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan
latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah
dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka
semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang Buddha
sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan
kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para
praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi
ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi
ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang
tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia,
misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin,
ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab
Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana,
mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi
yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang
melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:[13]
1)
Pembebasan melalui proses pemakaian
2)
Pembebasan melalui proses pendengaran
3)
Pembebasan melalui proses ingatan
4)
Pembebasan melalui proses penglihatan
5)
Pembebasan melalui proses Pengecapan
6)
Pembebasan melalui proses sentuhan.
Panca Skandha adalah suatu konsep dalam agama Buddha yang
menyatakan bahwa manusia adalah merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi
fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang disebut
lima kelompok kegemaran, terdiri atas:
a.
Rupaskandha/Rupakkhanda (kegemaran kepada bentuk)
b.
Vedanaskandha/Vedanakkandha (kegemaran kepada perasaan)
c.
Samjnaskhandha/Sannakkhandha (kegemaran kepada pencerapan)
d.
Samskaraskhandha/Sankharakkhandha(kegemaran kepada bentuk-bentuk
pikiran)
e.
Vijnanaskhandha/Vinnanakkhandha (kegemaran kepada kesadaran).
Vajrayana
memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai
pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha),
maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh
karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen,
yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang
tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas,
juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut
Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin,
menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.
Kesimpulan.
Mazhab Vajrayana dikenal luas oleh
dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik).
Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu
yang kelihatan). Menurut umat Buddha mazhab Vajrayana ini, sesungguhnya
Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan
tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana
(perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan,
perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal
dari sipelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan
Buddha.
Vajrayana atau Tantra juga dikenal
sebagai aliran mistis. Kemistisannya itu nampak dalam praktek meditasi Tantra
dalam empat hal yang tidak dapat ditinggalkan yaitu; mudra, dharani, mantra,
dan mandala. Mantra merupakan kalimat pendek yang merupakan ringkasan dari
dharani. Mantra juga merupakan sumber kekuatan-kekuatan itu sendiri yang
mempengaruhi manusia dan alam dengan kuat. Matra itu bukan magi tetapi suatu
pembudayaan diri, pengembangan mental (bhavana), tranformasi kesadaran, membantu
manusia bebas dari keduaniawian dan bersatu dengan objek pemujaan. Sedangkan,
sebuah lingkaran seperti diagram psikosmos yang didalamnya intisari kitab
tantra digambarkan dengan aksara-aksara atau simbol-simbol visual.
DAFTAR PUSTAKA
Suwarto.
T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta:
1995
Honig,
J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 1997
Dikutip dari www.padmakumara.wordpress.com
http://www.indoforum.org/t96087/#ixzz1pAJ4Xz6S
http.vajrayana.wikipedia.com
Ali,
Mukti. Agama-agama di Dinuia. IAIN Sunan Kali Jaga Press. Yogyakarta:1988
[1] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 119
[2] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[3] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[4] Antin, menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, ( Jakarta :
Golden Terayon Press, 1986 )
[5] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 122
[6] M. Ikhsan, tanggok, Agama Buddha, ( Jakarta : lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009 )
[7] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 122
[8] Mukti ali, Agama-agama di dunia, ( Yogyakarta : IAIN Sunan Kali Jaga
Press, 1988)
[9] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 123
[10] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 124
[11] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)
[12] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 124
[13] Harun, Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, ( Jakarta : Gunung Mulia,
2010), Cet. Ke-17
[14] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 129
[15] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[13]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar