Oleh :
Ratna
Hldya Astuti (1111032100033)
PENDAHULUAN
Dari latar belakang sejarah
bagaimana terjadinya Sidharta Gautama menjadi Budha, maka ajaran Buddha tidak
bertitik tolak dari ajaran ketuhanan, melainkan berdasarkan kenyatan-kenyataan
hidup yang dialami manusia, yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari
‘dukkha’ maka yang penting adalah bagaimana caranya membebaskan diri dukkha
tersebut.[1]
A. Pengertian
Tilakhana
Tilahana ini termasuk
ilmu pengetahuan dalam. Ilmu pengetahuan dalam ini disebut PARINNA. Ada tiga
macam parrina yaitu:[2]
1. NATA
PARRINA : pengetahuan dalam yang telah dimengerti.
2. TIRANA
PARRINA : pengetahuan dalam yang di bahas.
3. PAHANA
PARRINA : pengetahuan dalam tentang pembersihan.
NATA
PARRINA ialah ilmu pengetahuan dalam yang telah dimengerti, dipahami dan
dilaksanakan serta telah dihayati dalam penghidupan. Karena nata parrina ini
telah dilaksanakan dan dialami sendiri maka nata parrina dapat membedakan
tentang baik dan buruk dengan tajam sekali dan juga dapat mengetahui perbedaan
jasmani dan batin, dengan bermacam-macam kedaan dan sebab-musabab terjadinya
secara langsung.
Yang
telah memiliki nata parrina adalah SANG BUDDHA ketika beliau mencapai ABHINNA
dan juga para Arahat. ABHINNA adalah pengetahuan dalam yang berada diluar
pengetahuan manusia biasa.
TIRANA
PARRINA adalah pengetahuan dalam dan sempurna, yang membahas tentang segala
sesuatu yang bersifat sementara, tidak kekalselalu berubah, baik dalam bentuk
lahir (jasmani) maupun batin.
PAHAN
PARRINA adalah pengetahuan dalam sempurna tentang pembersihan atau pengusiran.
Terdapat lima macam pahana atau lima macam cara untuk membersihkan bathin.
Lima macam pahana itu
ialah :
1. TANDANGA
PAHANA, cara membersihkannya dengan menggunakan obyek-obyek yang berlawanan.
2. VIKKHAMBHANA-PAHANA,
cara mengusirnya dengan jalan mencapai Jhana-Jhana dalam meditasi ketenangan.
3. SAMUCCHEDA
PAHANA, hancurnya kekotoran batin, karena telah dijalani jalan kesucian.
4. PATIPASSADDHI
PAHANA, hancurnya batin setelah tercapainya ketenangan, dan kesucian.
5. NISARANA
PAHANA, pembebasan terakhir dari kekotoran batin karena telah tercapainy
NIBBANA.
Tilakhana artinya Tiga
corak yang Universal dan ini termasuk Hukum Kesunyataan, berarti hokum ini
berlaku dimana-mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh
waktu dan tempat.[3] Tiga corak umum yaitu:[4]
a. Anicca
: semua bentuk yang berkondisi adalah tidak kekal
b. Dukha
: semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna
c. Anatta:
semua bentuk yang terkondisi dan bentuk yang tidak terkondisi adalah tanpa
“AKU”
Anitiya:
artinya itu semua bentuk yang terkondisi adalah tidak kekal atau selalu
berubah-ubah. Segala benda yang ada atau sudah terbentuk pasti berubah. Anitya
adalah suatu karakteristik mengenai semua existen si keduniawian, adalah
kenyataan-kenyataan empiric. Dan Anitya adalah doktrin Hyang Buddha mengenai
ketidak kekalan dari semua bentuk yang terkondisi.
Dukha:
semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna. Segala sesuatu yang tidak
kekal menimbulkan penderitaan, atau penderitaan terjadi karena adanya perubahan
yang terus menerus. Segala sesuatu pasti berubah cepat atau lambat atau terus
menerus dan kemudian menjadi lapuk atau rusak. Contoh: Tubuh kita tidak sehat
oleh karenanya kita menjadi sehat. Dan istilah Dukha ini juga digunakan dalam
tradisi agama Buddha mengenai Hukum Tilkhana (Tri Laksana).[5]
Dalam
hal ini YMS Buddha Goatama menggunakkan Hukum Paticca Samuppada untuk
menerangkan timbulnya Dukkha, yaitu kelahiran, kelapukan, kesengsaraan dan
sebagainya.[6]
Yang menimbulkan Dukkha menurut
hukum paticca samuppada yaitu :
1. TANHA DI IKUTI OLEH UPADANA
Tanha yaitu keinginan kehausan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan atau ikatan,untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
Tanha yaitu keinginan kehausan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan atau ikatan,untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
2. UPADANA
DIIKUTI OLEH BHAVA
Bhava
sesungguhnya yang berarti terbentuk dan disini di artikan sebagai terbentuknya
yang bererti terbentuknya proses kehidupan kita, Maka bergantung kepada Upadana
terbentuknya proses kehidupan kita ( proses kamma ).
3. BHAVA
DIIKUTI OLEH JATI, JARAMARANA
Jika Bhava (proses kehidupan atau arus penjelmaan)
ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami sukses
dan kegagalan, harapan dan kekecewaan; dengan demikian timbullah segala macam
penderitaan.
Manusia selalu berada dalam dukkha,
sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha.
Untuk menghilangkan
dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut
dukkhasamudya,yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berapa tanha
(kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta
keterikatan hawa nafsu.
Kata
anatma berarti tiada jiwa. Ajaran ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran anitya,
yang mengajarkan bahwa tiada sesuatu yang tidak berubah. Jika tiada sesuatu
yang tidak berubah maka juga tiada jiwa yang kekal.[7]
Anatma
dapat juga diterangkan dalam 3 tingkatan yaitu;[8]
1. Tidak
perlu mementingkan diri sendiri. Contoh; terlalu egoistis
2. Kita
tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja, termasuk tubuh jasmani dan
pikiran kita supaya tetap seperti apa yang kita inginkan .
3. Bila
tingkat pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah memperaktekan akan
mengetahui dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa “Aku”,
atau tanpa pribadi.
Anatma
adalah Doktrin agama Buddha bahwa tidak terdapat suatu kekekalan “Aku”
(Atta) yang terdapat di dalam tiap-tiap individu manusia.
Ajaran
agama Buddha mengenai pokok ini adalah suatu penyangkalan atau penolakan
mengenai kenyataan dari aku atau jiwa yang mendiami individu.suatu kesatuan
yang lahir dengan masing - masing tahan lama di mana perantara dari tindakan tindakan individu[9].
Doktrin
mengenai Anatma dianggap di dalam tradisi agama Buddha sebagai kebenaran yang
paling mengenai segala - galanya untuk di pahami karena dugaan mengenai suatu
‘’ Aku ’’ yang kekal adalah berakar sangat dalam di dalam kebiasaan -
kebiasaan pemikiran sehari-hari.
B. Pattica
Sammuppada
Paticca Samuppada memberikan arti: Timbul atas dasar dari
suatu sebab sebelumnya, terjadi dengan cara dari sebab kejadian sebab-musabab,
ketergantungan asal mula.[10]
Ø Bunyi
hukum pattica sammuppada [11]
Paticca samuppada terdiri atas: PATICCA artinya DISYARATKAN dan kata
SAMUPPADA artinya MUNCUL BERSAMAAN. Jadi perkataan paticca samuppada artinya
kurang lebih yaitu MUNCUL BERSAMAAN KARENA SYARAT BERANTAI, atau terjemahan
yang sering terlihat dalam buku-buku, yaitu “POKOK PERMULAAN SEBAB AKIBAT YANG
SALING BERGANTUNGAN”
Paticca samuppada merupakan penjelasan tentang proses
kelahiran dan kematian, ia berhubungan dengan sebab tumimbal lahir dan
penderitaan, dengan pengharapan membantu manusia membebaskan diri dari
penderitaan hidup.[12]
Prinsip dari ajaran hukum patticasammuppada diberikan
dalam empat rumus/formula pendek yang berbunyi
sebagai berikut :
I.
Dengan adanya
ini,maka terjadilah itu.
II.
Dengan timbulnya
ini,maka timbullah itu
III.
Dengan tidak
adanya ini, maka tidak adalah itu.
IV.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
berhentinya
hidup telah diterangkan dalam satu rumus/formula dari dua balas
pokok yang dikenal sebagai patticasammuppada.
Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai berikut :[13]
Kedua belas pokok itu berbunyi sebagai berikut :[13]
1) Avijja Paccaya Sankhara
dengan adanya ketidak tahuan,maka terjadilah bentuk- bentuk kamma.
dengan adanya ketidak tahuan,maka terjadilah bentuk- bentuk kamma.
2) Sankhara Paccaya Vinnanang
dengan adanya bentuk bentuk kamma ,maka terjadilah kesadaran.
dengan adanya bentuk bentuk kamma ,maka terjadilah kesadaran.
3) Vinnana Paccaya Namarupang
dengan adanya kesadaran, maka terjadilah rohani jasmani.
dengan adanya kesadaran, maka terjadilah rohani jasmani.
4) Namarupa Paccaya Salayatanang
dengan adanya rohani jasmani, maka terjadilah enam landasan indriya .
dengan adanya rohani jasmani, maka terjadilah enam landasan indriya .
5) Salayatana Paccaya Phasso
dengan adanya enam landasan indriya, maka terjadilah kontak/kesan- kasan
dengan adanya enam landasan indriya, maka terjadilah kontak/kesan- kasan
6) Phassa Paccaya Vedana
dengan adanya kontak/kesan, maka terjadilah perasaan .
dengan adanya kontak/kesan, maka terjadilah perasaan .
7) Vedana Paccaya Tanha
dengan adanya persaan ,maka terjadilah keinginan/kehausan.
dengan adanya persaan ,maka terjadilah keinginan/kehausan.
8) Tanha paccaya Bhavo
dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan.
dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan.
9) Upadana Paccaya Bhavo
dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses penjelmaan.
dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses penjelmaan.
10) Bhava Paccaya Jati
dengan adanya proses penjelmaan, maka terjadilah kelahiran.
dengan adanya proses penjelmaan, maka terjadilah kelahiran.
11) Jati Paccaya Jaramaranang
dengan adanya tumimbal- lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian, dll.
dengan adanya tumimbal- lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian, dll.
12) Jara-Marana
kematian, kelapukan, keluh kesah, sakit, dll,sebagai akibat dari tumimbal- lahir.
kematian, kelapukan, keluh kesah, sakit, dll,sebagai akibat dari tumimbal- lahir.
Dengan
terhentinya seluruh ketidak tahuan, maka terhentilah pula bentuk-bentuk karma;
dengan terhentinya baentuk-bentuk kamma, maka terhentilah pula kesadaran,
dengan terhentinya tumimbal lahir maka terhentilah pula kematian, kelapukan,
kesedihan dll.
Demikianlah
kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus- menerus. Jika kita ambil rumus tersebut dalam arti yang
sebaliknya, maka sampailah kepada penghentian dari proses.
Hyang Buddha Shakyamuni menerangkan hukum
sebab- musabab yang saling bergantungan ini dalam suatu rangkaian yang terdiri
dari 12 (dua belas) rantai. Yaitu kondisi-kondisi dan sebab-musabab yang saling bergantungan dari penderitaan manusia dan pengakhirannya.[14]
Dengan
memahami seluruh fenomena kehidupan ini Agama Buddha memandangnya sebagai suatu
lingkaran dari kehidupan, yang tidak dapat diketahui permulaan dan akhirnya.
Pattica
sammuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan
yang sebenarnya, dimana tidak ada Sesuatu timbul tanpa sebab.
Ajaran ini dimaksudkan
sebagai imbangan dari ajaran Anatta. Ajaran Anatta ini bekerja secara analisa
dan membentangkan tentang keadaan di dalam unsure-unsur bagiannya yang terakhir,
didalam gejala-gejala yang benar-benar kosong, tanpa jiwa.[15]
Ø Pattica
Samuppada bersifat ilmiah
Pokok
permulaan Sebab-Akibat yang saling bergantungan atau muncul bersamaan karena
syarat-syarat yang saling bergantungan; yang dapat dinyatakan dengan: “bergantungan
kepada ini, maka timbullah itu”[16]
Seluruh
alam semesta ini dikuasai oleh hukum Pattica Samuppada dan sebagai contohnya
yaitu:
Oleh
karena adanya awan di angkasa mendung, maka turunlah hujan. Bekerjanya Hukum
paticca samuppada seperti halnya dalam contoh rangkaian diatas, dimana kita
lihat, bahwa suatu kejadian selalu bergantung kepada kejadian yang
mendahuluinya; dan selalu menimbulkan kejadian lain pula yang mengikutinya.
KESIMPULAN
Proses sebab dan akibat ini
berlangsungan terus menerus. Awal pertama proses ini tak bisa ditentukan karena
tidaklah mungkin untuk membayangkan suatu saat ketika aliran kehidupan ini
tidak diliputi ketidak tahuan. Tetapi jika ketidak tahuan ini diganti dengan
kebijaksanaan dan aliran kehidupan ini memahami Nibhana Dhatu, pada swaat
itulah proses tumimbal lahir berakhir.
DAFATAR PUSTAKA
o
Ali, Mukti. Agama-agama
Dunia. Editor Drs. Djam’annuri, M.A. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga
Press. 1988
o
Diputhera, Oka.
Pedoman penerangan agama Buddha. Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono. 1977
o
Hadikusuma,Hilman. Antropologi
Agama. - : PT. Citra Aditya Bakti. 1983
o
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu
dan Buddha. Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 17. 2010
o
Honig, A. G. Jr. Ilmu Agama.
Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. Jakarta : Gunung Mulia. Cet.
8. 1997
o
Mahathera, Narada. Sang Buddha
dan Ajaran-Ajarannya.. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
o
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
o
Suzuki, Beatrice Lane. Agama
Buddha Mahayana. Terjemahan Hustiati. : Karaniya. 2009
o T.
Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana
Indonesia. 1995
[2] Diputhera, Oka. Pedoman penerangan
agama Buddha. Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono. 1977. h.161-165
[3]
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.225
[4] Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.59
[5] Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.61
[8] Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.61
[9] Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.62
[10] Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.63
[12]
Mahathera,
Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya.. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
h. 112
[14] Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun:
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.63
[15] A. G.
Honig Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto.
(Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar