Oleh :
Fatimah al batul
PENDAHULUAN
A
special transmission,
Outside
the scriptures.
No
dependence on words and letters.
Direct
pointing to the mind
and
the realization of Buddhahood.
-
Bodhidharma
Membicarakan tentang Zen dalam ajaran Buddhisme bukanlah hal
yang mudah. Hal ini dikarenakan Zen, merupakan ajaran tentang meditasi yang
menuntut untuk dipraktikkan bukan dibicarakan atau dikaji dalam ceramah-ceramah
keagamaan. Maksudnya adalah meninggalkan ketergantungan pada kata, aksara, dan
bahasa dan memulai pemahaman dengan hati.
Secara Harfiah, kata Zen merupakan bahasa Jepang dari Ch’an
dalam bahasa Cina. Ch’an sendiri merupakan penyebutan Dhyana dalam bahasa Cina.
Jadi Zen merupakan perkembangan dari sekte Dhyana di India. Dhyana berarti
meditasi. Zen Buddhisme memfokuskan dirinya pada pencapaian pencerahan (Bodhi)
melalui meditasi sebagaimana yang dilakukan oleh Siddharta Gautama. Zen
meyakini bahwa setiap manusia memiliki sifat kebuddhaan alamiah atau potensi
untuk mencapai pencerahan.
ZEN BUDDHISME
DAN AJARAN-AJARANNYA
d
Sejarah Buddhisme Zen
Zen di India
Sejarah Zen dimulai dari India. Seiring perubahan zaman,
Hinduisme—yang juga merupakan akar Buddhisme—yang sempat tersingkir oleh
beberapa ajaran baru yang muncul di India; kembali menemukan jalan
kebangkitannya. Beruntung sebelum Buddhisme tergusur oleh Hinduisme—karena
Hinduisme mengalami kebangkitan—pengaruh Buddhisme telah tesebar melintas benua
hingga ke Cina. Agama Buddha Mahayana, salah satu sekte dalam Agama Buddha,
dibawa ke Cina oleh Boddhidharma[1].
Pada masa Sang Buddha, yoga sebagai konsentrasi terhadap
Brahman dipraktikkan secara luas. Pada dasarnya, sifat dasar yoga untuk
meng-kontemplasikan spirit di satu poin tertentu yaitu: pencapaian ketenangan
dengan duduk bermeditasi. Faktanya, metode-metode dalam yoga dewasa ini
terbatas hanya berkaitan dengan apa yang harus dimakan, berpuasa, dan
sumpah-sumpah tertentu; seperti sumpah untuk tetap berdiri dengan satu kaki
dengan tujuan untuk memperpanjang waktu. Melalui sejenis pertapaan dan kesatuan
seluruh latihan, yogi melatih dirinya sendiri untuk mengabaikan hal-hal yang
bersifat eksternal dan mengontrol pergerakan ruhnya sendiri hingga yang paling
tipis sekalipun[2].
Sang Buddha mempraktikkan yoga ini selama dua belas tahun
sejak ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Ia mengunjungi
orang-orang suci dan menanyai orang-orang bijak, berkelana ke empat penjuru
negeri. Akan tetapi, pada akhirnya Sang Buddha tidak menemukan jawaban terhadap
dua pertanyaannya yang esensial melalui Yoga. Yaitu: Apa itu manusia dan
Bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya?[3]
Sang Buddha mengabaikan pertapaan, duduk diam, menyilangkan
kakinya dan memperhatikan nafasnya. Selama pemulaan dari delapan hari Zazen, ia
mencapai level kesadaran tertinggi menyamai sinar bintang. Sang Buddha
menemukan keberadaan alaminya pada alam semesta dan sebuah aturan untuk seluruh
umat manusia.
Zen in Cina
Zen dibawa ke Cina oleh Boddhidharma. Boddhidharma kemudian
mentransmisikan (semacam mewariskan) kebuddhaan kepada murid-muridnya di Cina.
Sesepuh Zen di Cina ada enam, yakni Boddhidharma, Hui K’o, Seng Ts’an, Tao
Hsin, Hung Jen, dan Hui Neng.
Boddhidharma merepresentasikan generasi ke dua puluh delapan
dari Sesepuh dalam Agama Buddha. Pada saat itu Cina dibagi menjadi tiga wilayah
yang saling bermusuhan. Kekacauan terjadi dimana-mana menunjukkan pergolakan
yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Negara itu dipimpin oleh para tiran
dan berdarah-darah karena pemberontakan. Dinasti Liang memimpin satu wilayah
kuno di Cina. Kerajaan Wu-Ti, merupakan kepala dinasti ini dan seorang buddhis
yang kuat, mendengar tentang Boddhidharma dan mengundangnya untuk datang ke
istananya. Wu Ti menanyakan “apa yang menjadi ajaran dasar dalam Agama Buddha?’
dan Boddhidharma menjawab, ‘satu kekosongan yang besar sekali. Langit yang
cerah. Langit yang tidak menunjukkan yang tercerahkan dan yang bodoh. Dunia
yang tepat sebagaimana seharusnya”. Meskipun keinginannya untuk menjadi seorang
Buddha sangat kuat, Wu Ti tidak memahami pesan yang dibawa oleh Boddhidharma
dan kemudian menyadari bahwa pada masa itu untuk Zen belum siap untuk
disebarkan di Cina. Karenanya, ia menyeberangi sungai Yang-Tse dan beristirahat
di Kuil Shorin di Gunung Utara. Di sana, ia membpraktikkan duduk Zazen di
hadapan sebuah tembok selama sembilan tahun, beberapa mengatakan tanpa henti.
Zen tersebar dengan cepat melalui Sesepuh Cina yang ke-6, Hui
Neng (Eno). Setelah Eno, terdapat bunga kelopak lima berkembang. Ekspresi Zen
ini berarti Zen terbuka seperti sebuah bunga dengan lima kelopak dan menyebar
luas seantero negeri, terima kasih kepada kelima aliran yang muncul dari garis
keturunan spiritual Eno (Hui Neng). Kelima aliran tersebut adalah Igyo, Hongen,
Soto, Unmon, dan Rinzai. Di gunung-gunung dan hutan-hutan Cina, dibangun ribuan
kuil (vihara) yang kemudian ditinggali oleh lebih dari 10 ribu orang,
mencurahkan diri mereka untuk belajar dan mempraktikkan Dharma Buddha. Dalam
perjalanan waktu, Zen mengeisi peradaban Cina, mengangkat pemikirannya,
budayanya, dan seninya ke ketinggian yang maha mulia.
Di Tiongkok (Cina) madzhab Mahayana berinteraksi dengan
Taoism dari Lao Tze (604-531 SM) dan dengan Cofucianism dari Kong Fu Tze
(551-479) dan di Jepang berinteraksi dengan Shintoisme. Bentuk interaksi ini
positif dan negatif, artinya Buddha saling bersinggungan dengan
kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Cina dan di Jepang, yang dalam
perjalanan sejarah mempengaruhi alirang-aliran Buddha Mahayana di Cina dan
Jepang. Dari kelima aliran Zen ini, hanya tiga yang juga berkembang mencapai
Jepang: Soto, Rinzai, Obaku (yang terakhir merupakan cabang dari aliran
Rinzai). Dua yang lainnya mati di Cina.
Zen di Jepang
Aliran Mahayana berkembang di Cina kemudian diperkenalkan ke
Jepang lewat Korea, yakni ketika raja Kudara mengirimkan kitab-kitab dan
patung-patung Buddha kepada Kaisar Jepang. Pada mulanya, kehadiran agama baru
ini ditentang. Sejak tahun 552M Buddhisme telah masuk ke Jepang dan Cina.
Ajaran-ajaran Buddha dengan cepat tersebar setelah timbul anggapan bahwa
dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan
Shintoisme. Sebenarnya, corak kepercayaan Buddhisme di Jepang terbagi menjadi dua.
Yang pertama, kelompok yang ingin mencapai kelepasan dengan usahanya sendiri,
yang kemudian disebut Zen Buddhisme. Yang kedua, ignin melepaskan diri dnegan
pertolongan dewa-dewa.
Di Jepang, hanya aliran Rinzai dan Soto yang mendasari
perkembangan Zen. Terima kasih kepada Eisai (pendiri Rinzai) dan Dogen dan
Keizan (Pendiri aliran Soto). Tradisi Rinzai berdasarkan pada disiplin yang
ketat yang didisain untuk mengartikulasikan penciptaan mentail. Koan atau
pertanyaan yang membingungkan dan susah untuk dijawab merupakan aspek yang
sangat penting dan ketetapan hatinya, melampaui alam intelek, yang memimpin
langsung untuk ke pengalaman tentang Satori dan terbangunnya kesadaran
(awakening).
Sementara itu, tradisi Soto bertujuan melampaui segala
sesuatu untuk berkonsentrasi dan merenungkan kehidupan Sang Buddha, mengikuti
keseharian Sang Buddha, rasa syukur yang bertambah setiap harinya terhadap
keberadaan sehari-hari, tanpa mengharapkan apa pun yang biasa. Esensi dari Soto
adalah Shikatanza, duduk dan hanya duduk. Dengan Master Dogen (1200-1254)
tradisi Soto dan esensi Buddhisme mencapai satu level kematangan dan ketelitian
yang susah untukd iatasi pada saat yang lain. Masterpiecenya, “Shobogenzo”
merupakan karya yang sangat diperlukan untuk memahami Buddhisme dan esensi dari
seluruh Peradaban Timur.
Zen telah mempengaruhi
kehidupan keseharian orang-orang Jepang. Pengaruh ini dapat dilihat pada
kehidupan Jepang seperti: Makan, berpakaian, kaligrafi, arsitektur, teater,
musik, taman, dekorasi dan lain sebagainya. Termasuk hari ini, ketika banyak
orang Jepang tidak mengetahui apa Zen itu, perilaku keseharian mereka dan
ekspresi-ekspresi mereka menunjukkan pengaruh ajaran ini di Jiwa Jepang.
d
Ajaran-ajaran Zen
Buddhisme
Meskipun dikatakan bahwa Zen Buddhisme tidak terikat oleh
segala macam teori ajaran, yang penting adalah pengertian dan intuisi serta
meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini dijadikan sebagai teori dalam Zen
Buddhisme:
a.
Surangama Sutra
b.
Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra,
c.
Lankavatara Sutra,
d.
Vimalakirti-Nirdesa Sutra,
e.
Sutra Altar oleh Hui Neng (The
Platform Sutra of The Sixth Patriarch)
Zen Buddhisme menerapkan Meditasi, yaitu Samatha Bhavana dan
Vipasyana Bhavana. Meditasi Zen Buddhisme, ti dan dengan tata cara upacara,
melainkan secara wajar dan alamiah serta tidak terikat pada posisi duduk
bersila. Dalam Zen Buddhisme, bagi mereka walaupun tidak ada pendidikan formal
juga akan tetap memperoleh kemajuan spiritual, dengan demikian, Buddha Dharma
akan lebih mudah dipahami dan dihayati, asalkan dengan usaha yang
sungguh-sungguh, tekun latihan meditasi. Maka secara filsafat Zen Buddhisme,
ajaran Dharma diberikan secara langsung dari hati ke hati.
Filsafat Zen Buddhisme juga membahas tentang Sunyata.
Sebagaimana dijelaskan dalam Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra, bahwa hati dan
pikiran kita, janganlah terikat dengan Anitya, Dukkha, dan Anatman. Segala
sesuatu yang bersyarat di alam fenomena ini tidaklah kekal atau terus berubah
dan tidak pasti, demikian juga seperti perasaan dan pikiran kita, jika terikat
pada perasaan dan pikiran kita, seandainya perbuatan baik yang telah dilakukan
sedangkan karma baik atas perbuatan baik kita itu tidak langsung berbuah,
bukankah itu akan sangat mengecewakan?[4]
Tujuan utama dari sekte Zen atau Ch’an bukanlah hanya duduk
bermeditasi, melainkan membina kesadaran pada diri kita sendiri atau membuka
kesadaran diri kita sendiri untuk mencapai ‘U’ (Satori). Setelah tercapainya
‘U’ (Satori) maka secara psikologi, pikiran dan batin kita telah maju dan telah
bebas dari segala macam kemelekatan atau ikatan. Dia akan terus maju dan secara
teologis, dapat diartikan semakin mendekati Sang Absolut. Sekte Ch’an tidak
terikat pada segala macam tradisi, tata-upacara sembahyang, dan tidak terikat
pada Sutra-sutra. Yang paling penting adalah bagaimana menembusi isinya dan
mengenal diri sendiri secara intuisi; bagaimana merealisasikan Dharma. Dharma
itu Sunyata karena itu tidak dapat jika hanya dijelaskan dengan kata-kata,
hanya dengan usaha yang tekun dan waktu yang lama seseorang baru dapat
merealisasikannya.[5]
Zen memelihara jalan ini sebagai jalan yang melaluinya Buddha
sendiri mencapai pencerahan. Zen mengajarkan bahwa seluruh manusia memiliki
kapasitas yang sama untuk mencapai pencerahan karena kita memiliki sifat alami
kebuddhaan; sebenarnya, kita merupakan keberaan yang telah tercerahkan, tetapi
potensial kebenaran kita telah terhijab oleh kebodohan. Berdasarkan beberapa
tradisi Zen, kebodohan ini menguasai dapat dikuasai melalui pemecahan
tiba-tiba—yang disebut satori—selama meditasi dimana sifat alami dari
keberadaan dan pengalaman kita, disingkapkan.
Aliran Zen yang berbeda, diantaranya adalah Rinzai dan
Soto—dua yang utama—menemukan kembali beberapa metode untuk mencapai
pencerahan, termasuk mempraktikkan zazen (“hanya duduk” bermeditasi). Meskipun
pesan Zen nampak sangat sederhana, latihannya sangat sukar dan membutuhkan
petunjuk dari seorang master. Di Jepang, Zen menjadi populer di kalangan
prajurit samuria karena fokusnya pada kedisplinan dan kontrol diri; Zen juga
mengiformasikan praktik-praktik seni yang lainnya, seperti kaligrafi, lukis,
desain taman, dan memanah. Sejak awal abad ke-20, satu versi populer Zen telah
tersebar ke seluruh dunia dan mempengaruhi baik di USA ataupun Eropa.
Zen merupakan sebuah warisan khusus di luar Kitab Suci. Kitab
suci dalam agama Buddha adalah Tripitaka, yang terdiri atas Vinaya Pitaka, Sutta
Pitaka, dan Abidharma Pitaka. Secara tradisional Tripitaka berisi kata-kata
Sang Buddha. Sang Buddha sendiri, tentunya tidak pernah menulis apa-apa,
seperti Socrates dan Kristus, beliau menyebarkan ajarannya secara lisan. Dan
murid-murid dan para keturunannya yang menuliskannya kemudian. Pemahaman
terhadap kitab suci, merupakan kunci awal mempelajari Zen. Dalam vihara-vihara
Zen, tak jarang isi-isi kitab suci seperti Sutra Intan, Sutra Altar dan lain
sebagainya, dihafalkan di luar kepala. Tanpa kitab suci, kita tidak akan
memahami apa yang kita—sebagai Buddhis dan termasuk pengikut-pengikut Zen di
dalamnya—sedang coba dapatkan dan bagaimana cara mendapatkannya.
Satu-satunya cara yang dapat membebaskan diri dari kitab suci
adalah dengan memiliki hubungan yang kuat dan terus-menerus dengan seorang guru
yang telah mencapai pencerahan spiritual atau Penerangan Sempurna. Guru yang
demikian, merupakan perwujudan kitab suci.
Dari seorang guru yang telah mencapai Pencerahan Sempurna,
ajaran-ajarannya diwariskan atau ditransmisikan kepada murid-muridnya. Dalam
tradisi Zen, terdapat empat macam pewarisan ilmu tersebut, yaitu:
a.
Transmisi Ordinasi.
Terdapat tiga jenis
ordinasi: Upasaka-upasika; bhikshu-bhikshuni; dan Bodhisattva. Ketiga ordinasi
ini membentuk persaudaraan spiritual atau Sangha. Setiap ordinasi, melibatkan
pelaksanaan sikap spiritual tertentu dan ketaatan pada aturan tertentu.
Upasaka-upasika
diordinasi oleh Bhikshu, atau bhikshuni atau Boddhisattva. Menyatakan
berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha dan menaati Sepuluh Sila, yakni
menjauhkan diri dari:
1.
Menyakiti makhluk lain
2.
Mengambil apa yang tidak diberikan
3.
Mempraktikkan kehidupan seks yang
salah
4.
Perkataan yang kasar
5.
Perkataan yang tidak benar
6.
Perkataan yang fitnah
7.
Perkataan sia-sia
8.
Keserakahan
9.
Kebencian
10. Pandangan salah.
Seorang Bhikshu
atau bhikshuni diordinasi sekelompok bhikshu yang terdiri atas lima orang,
termasuk diantaranya seorang sesepuh (sthavira) yaitu bhikshu yang paling tidak
suda berada dalam Persaudaraan selama sepuluh tahun. Bhikshuni mendapatkan dua
kali ordinasi, sekali oleh sekelompok bhikshu dan sekali oleh sekelompok
bhikshuni. Baik bhikshu maupun bhikshuni, meninggalkan kehdiupan duniawi,
mengabdikan seluruh kemampuan mereka untuk penyadaran Nirvana, dan menaati 150
sila. Empat pasal yang paling utama adalah:
1.
Tidak melakukan hubungan seks;
2.
Pencurian;
3.
Pembunuhan dan mendorong tindakan
bunuh diri, dan
4.
Menyatakan dengan tidak benar
pencapaian spiritual tertentu.
Seorang
Boddhisattva diordinasi oleh Buddha. Tetapi pada praktiknya diordinasi oleh
Boddhisattva yagn lebih senior. Ia mengembangkan niat untuk mencapai Penerangan
Sempurna, demi kebahagiaan semua makhluk, dan menjalankan suatu peraturan yang
(menurut tradisi Indo-Tibet) terdiri dari 18 syarat mayor dan 46 syarat minor,
semuanya menekankan pada altruisme.
b.
Transmisi Kitab Suci
Untuk memahami
kitab suci, diperlukan pengajaran dari seorang guru yang telah mencapai
Pencerahan Sempurna. Bersamanya, kitab suci dibaca lembar demi lembar, dan
dipahami maknanya. Biasanya, hasil penafsiran terhadap kitab suci juga ditulis
sendiri oleh yang bersangkutan untuk dijadikan pedoman pemahaman kitab suci.
Mempelajari kitab suci seorang diri tidaklah ckup. Seseorang pda waktu yang
sama harus mempelajari interpretasi yang benar, di bawah bimbingan seorang guru
dari “silsilah pewarisan”.[6]
c.
Transmisi Doktriner
Doktrine adalah
sitematis ajaran seperti yang terdapat dalam kitab suci. Yang terdiri atas Lima
Agregrat, Sembilan Orang Suci, Dua Belas Mata Rantai, dan seterusnya. Di India,
secara bersamaan terdapat empat transmisi doktrin yang berbeda, dalam bentuk
empat ajaran filosofis: Vaibhashika, Sautrantika, Vijnandavadin, Madhyamika. Ini
semua merupakan sajian sistematis dari Ajaran dalam arti berturut-turut:
realisme sederhana, realisme Kritis, idealisme, dan absolutisme. Semua
transmisi ini, diteruskan dengan penguatan dan tambahan di Tibet dan Timur
Jauh. Di Cina, transmisi doktri di jaga di sekolah-sekolah besar pribumi Hua
Yen (Avatamsaka atau ‘ornamen bunga’) dan Tien-t’ai dikategorikan
berturut-turut oleh Takakusu sebagai aliran totalisme dan fenomenologis
(Mahayana).[7]
d.
Transmisi Jiwa Agama Buddha
Ini merupakan
transmisi yang paling penting dan dimaksud pada pernyataan “Transmisi Khusus di
luar kitab suci”. Menurut tradisi buddhis sang Buddha pernah suatu waktu duduk
dikelilingi sekumpulan besar siswa-siswaNya. Beratus-ratus Bodhisattva dan
Arahat, Bikshu-biksuni, serta Upasaka-upasika hadir bersama-sama dengan
berbagai kelompok makhluk-makhluk surgawi.Semuanya diam, menunggu Sang Buddha
bersabda. Tapi pada kesempatan ini, bukannya mengeluarkan kata-kata, ditengah
keheningan Sang Bhagava hanya mengangkat sekuntum bunga berwarna emas… Hanya
Mahakasyapaa, satu diantara siswa-siswa tertua—yang termahsyur karena
kesederhanaanya—mengerti makna perbuatan Sang Buddha, dan ia tersenyum. Sang
Buddha kemudian bersabda, “Aku yang memiliki Mata dari Dharma yang luar biasa,
yakni Nirvana, Kesadaran, misteri realita dan non-realita, serta pintu gerbang
kebenaran transenden. Aku sekarang menyerahkannya kepada Mahakasyapa.” Inilah
yang dimaksud dengan transmisi.[8]
Mahakasyapa
mentransmisikan jiwa Dharma kepada Ananda, yang telah menjadi siswa langsung
Sang Buddha selama dua puluh tahun kehidupannya di dunia.Ananda meneruskannya
kepada Sanakavasa, muridnya dan seterusnya. Dari mahakasyapa di abad ke-5 SM
hingga kepada Boddhidharma di abad ke-6 M, transmisi ini dilanjutkan dalam satu
garis guru-guru spiritual, sebagian kurang dikenal dan sebagian lagi merupakan
nama-nama paling top dalam sejarah agama Buddha di India. Daftar nama-nama guru
ini, yang secara tradisional dikenal sebanyak Dua Puluh Tujuh – Dua Puluh
Delapan dengan Boddhidharma—Sesepuh Zen dari India adalah sebagai berikut :
1. Mahakasyapa
2. Ananda
3. Sanakavasa
4. Upagupta
5. Dhritaka
6. Michchaka
7. Vasumitra
8. Buddhanandi
9. Buddhamitra
10. Parshva
11. Punyayashas
12. Ashvaghosha
13. Kapimala
14. Nagarjuna
15. Kanadeva
16. Rahulata
17. Sanghanandi
18. Gayasata
19. Kumarata
20. Jayata
21. Vasubandhu
22. Monorhita
23. Haklena
24. Aryasimha
25. Basiasita
26. Punyamitra
27. Prajnatara
28. Bodhidarma[9]
Studi daftar ini
mengungkapkan hubungan yang sangat dekat antara Zen dan apa yang dikenal
sebagai tradisi pusat Agama Buddha India. Dialah Boddhidharma yang termahsyur,
sesepuh kedua puluh delapan dari India—yang dalam lukisan kuno digambarkan
sebagai seorang yang menyebrangi lautan dengan daun bambu—yang membawa Zen ke
Cina, dengan sendirinya menjadi sesepuh pertama dari Cina. Apa yang ia bawa ke
Cina bukanlah Zen dalam bentuk seperti yang kita kenal saat ini bersama dengan
doktrin-doktinnya, kitab suci, dan organisasi viharanya, melainkan semangat
atau jiwa yang ia turunkan kepada muridnya Hui K`o, yang kemudian menurunkannya
pada muridnya lagi hingga sesepuh yang
ke-6. Master-master ini dikenal sebagai Enam Sesepuh Aliran Zen dari Cina,
Yakni :
1. Boddhidharma
(lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528)
2. Hui K`o
(lahir 487 - meninggal 593)
3. Jianzhi
SengTs`an (meninggal 606)
4. Dayi Tao
Hsin(lahir 580 - meninggal 651)
5. Hung Jen
(lahir 601 - meninggal 674)
6. Hui Neng /
Wei Lang(lahir 638 - meninggal 713)[10]
Karena kejeniusan
Hui Neng, ia mengajarkan kembali kepada 43 orang. Sesudah itu banyak sekali
garis transmisi, namun ada dua diantaranya yang sangat berperan hingga
sekarang.Kedua garis keturunan ini diwakili oleh aliran Soto dan aliran Rinzai.
Dalam sutera Intan tertulis empat jenis Zen, yaitu:
1.
Zen/ Ch’an Tathagata (Metode-metode
Klasik dari konsentrasi)
Seperti menghitung nafas dan menungmbuhkan semangah kasih
universal yang telah diajarkan oleh Buddha Gautama dan secara umum di
praktikkan oleh semua bentuk agama Buddha, termasuk Zen. [11]
2.
Ch’an dari Sesepuh
Yakni Ch’an dari Hui Neng, seseuph Cina keenam dari aliran
Zen. Ini merujuk pada ajaran dari Sutra Altar tentang kesatuan atau dengan kata
lain ketidakterpisahan samadhi dan prajna. Hui Neng bersabda, “Hadirin yang
terpelajar, dalam sistem saya Samadhi dan Prajna adalah fundamental. Tetapi
jangan beranggapan kleiru bahwa keduanya berdiri sendiri-sendiri, karena mereka
adalah satu tak terpisahkan dan bukannya dua rupa. Samadhi merupakan inti dari
Prajna, dan Prajna adalah aktivitas dari Samadhi. Pada saat kita mencapai
Prajna, Samadhi telah ada bersamanya dan begitu juga sebaliknya… seorang murid
seharusnya tidak berpikir bahwa terdapat pemisah aantara ‘Samadhi dari Prajna’
dan ‘Prajna dari Samadhi’.” (Sutra Wei Lang, halaman 46)[12]
3.
Ch’an Turunan
Merupakan Ch’an yang diajarkan oleh keturunan spiritual dari
Sesepuh Hui Neng, khususnya dari guru besar generasi keempat, kelima, keenam,
dan ketujuh yang menjadi para pendiri Lima “Sekte” Ch’an di Cina. Jika Ch’an
Tathagata dan Ch’an dari Sesepuh adalah India dalam bentuknya, maka Ch’an
Turunan berkarakteristik Cina. Bukannya dengan mengutip dari kitab suci, dan
memberikan ceramah panjang tentang filosofi dan praktik Zen dalam cara-cara
tradisional, seperti yang bahkan dilakukan oleh Hui Neng, Ch’an dari tipe ini
mencoba mengalami pencerahan dengan cara yang lebih langsung dan konkret dengan
bantuan kata-kata, kalimat-kalimat, dan tindakan-tindakan yang kelihatannya eksentrik
dan lucu. Ini semua adalah apa yang terkenal sebagai kung-ans (dari kata Jepang
koans: secara harfiah berarti
“catatan-catatan publik”) atau “sebab-sebab bersamaan” dari Pencerahan, seperti
teriakan yang tiba-tiba, tertawa yang tidak semena-mena, atau satu pukulan
tongkat.[13]
4.
Ch’an Wacana
Ini adalah aliran Ch’an dari orang-orang yang hanya berbicara
tentang Ch’an atau menulis buku dan artikel tentangnya, tetapi tidak pernah
berusaha mempraktikkannya. Di Barat, Ch’an jenis ini lazim dan sangat dominan,
bahkan di Cina pun Ch’an ini mulai menjadi hal yang lumrah. Ketika orang-orang
tidak lagi berusaha mempelajari untuk mencapai pencerahaan melalui Zen,
melainkan mempelajari apa itu Zen, dan terus mendiskusikannya.[14]
d
Zen praktis
Pada dasarnya, terdapat dua kualitas esensial yang kita
butuhkan dalam praktik-praktik Agama Buddha. Yang pertama adalah bahwa kita
mampu untuk menarik diri dari masyarakat selama beberapa waktu, mungkin
beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Dan hal lain
yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk mengambil apa pun yang kita capai dari
pengalaman kita selama isolasi dan membawanya ke dunia—pada hubungan kita
dengan sesama manusia dan pada kehidupan kita sehari-hari. Seperti menarik
nafas dan menghela nafas, kita membutuhkan keduanya.[15]
KOAN
Secara umum, koan berarti masalah atau teka-teki, tetapi
permasalahan dalam pandangan Zen adalah hal yang sangat menakjubkan bagi
pikiran yang sadar. Koan biasanya terdiri daru satu kata tau frasa yang seolah
tanpa makna atau pernyataan ‘omong-kosong’ dalam pandangan awam. Akan tetapi,
kan telah mengembangkan kekuatan konsentrasi, seorang pelaku Zen dapat
memfokuskan perhatiannya pada koan sebagai sebuah objek meditasi. Karena koan
tidak dapat diselesaikan melalui penjelasan logis, introspeksi terhadap koan
didisain sebagai jalan pintas proses intelektual yang berakhir pada realisasi
yang sebenarnya.
Dalam tradisi Ch’an, koan disebut dengan kung-an. Koan
diajarkan secara personal antara guru dan masing-masing muridnya. Seorang murid
yang telah menerima koan, akan bermeditasi tentang hal tersebut sampai ia
menemukan jawabannya. Hal ini bisa dilakukan selama beberapa bulan, atau bahkan
bertahun-tahun. Setelah menemukan jawabannya, sang murid langsung
men-konfirmasikan hasil meditasinya tersebut kepada gurunya. Tradisi awal Zen,
koan bersifat sangat personal. Akan tetapi, dewasa ini, koan menjadi semacam
problem universal bagi banyak orang. Bahkan disusun buku-buku berisikan
koan-koan yang diberikan seorang guru pada murid-muridnya. [16]
ZAZEN
Zazen merupakan inti dari ajaran praktis Zen Buddhisme.
Tujuan dari zazen hanyalah duduk, “membuka pikiran”. Ini dilakukan untuk
menginterpretasi koan dan dipraktikkan oleh baik Rinzai dan Soto dengan metode
Shikantaza (whole-hearted sitting).[17]
Secara lieteral, zazen berarti ‘duduk bermeditasi’ merupakan
sebuah disipline meditatif pelaku zen untuk menenangkan tubuh dan pikiran dan
mengalami (experience) pemahaman (batin) terhadap asal-usul eksistensi dan
dengan cara demikian berhasil meraih pencerahan (satori).
Postur zazen adalah duduk, dengan melipat kaki dan tangan dan
punggung yang tegak tetapi tenang dan kuat. Kaki yang terlipat merupakan
standar yang baik dari gaya duduk. Dan tangan-tangan yang terlipat menjadi satu
merupakan simbol dari sebuah mudra sederhana di sekitar perut. Pada beberapa
praktik, seseorang bernafas melalui hara (pusat gravitasi dalam perut) dan
kelopak mata separuh tertutup, mata tidak sepenuhnya tertutup dan pada saat
yang sama tidak juga terbuka.[18]
Tradisi Zazen
Periode zazen sangat panjang, biasanya dilakukan secara
berkelompok di sebuah zendo (aula meditasi), pernah digantikan juga dengan
periode kinhin (walking meditation/ meditasi dengan berjalan). Permulaan
periode zazen secara tradisional diumumkan dengan membuyikan bel sebanyak tiga
kali (shijosho), dan diakhiri dengan membunyikan bel satu kali (hozensho).
Sebelum dan setelah duduk zazen, para praktisi zazen saling memberi hormat pada
tempat duduk mereka (gassho) dan memberi hormat dari para praktisi kepada gurunya.
Di jepang, duduk zazen secara tradisional dilakukan pada
sebuah tatakan yang disebut zabuton dan menduduki sebuah bantal kecil yang
disebut zabu. Posisi-posisi yang biasa dilakukan ketika duduk di atas zafu
adalah:
a.
Kekkafuza (full lotus-teratai penuh)
b.
Hankafuza (half lotus-teratai separuh)
c.
Burmese (kaki bersilang, postur ketika
pergelangan kaki diletakkan bersama didepan tubuh)
d.
Seiza (posisi berlutut menggunakan
bangku kecil atau zafu)
Bukan hal yang mengherankan bagi para praktisi zen modern
yang melakukan zazen di atas kursi, sering dengan ganjalan di belakang punggung
untuk membantu menjaga posisi natural tulang belakang.
Secara umum, praktik zazen diajarkan melalui salah satu dari
ketiga jalan, yaitu:
1.
Konsentrasi
2.
Introspeksi Koan
3.
Shikantaza (hanya duduk)
Konsentrasi dan
Interpretasi terhadap Koan
Level-level awal dari latihan-latihan zazen biasanya
menekankan pada konsentrasi. Dengan memfokuskan pikiran pada pernafasan hara
(mungkin sejenis pernafasan perut), dan tak jarang dibantu dengan menghitung,
dengan cara membangun kekuatan konsentrasi atau joriki. Di beberapa pusat Zen,
praktik perapalan mantra-mantra secara mental melalui pernafasan digunakan
dengan cara menghitung nafas bagi para pemula. Di beberapa komunitas, atau
sangha-sangha, praktiknya adalah dengan melanjutkan cara ini sampai mencapai
beberapa tanda-tanda pengalaman religius dari samadhi atau “kesatupusatan/
keterpusatan” pikiran. Pada titik ini, para praktisi berpindah dari metode zazen pertama ke metode
zazen kedua.
Setelah berhasil membangun kekuatan konsentrasi, para
praktisi Zen dapat mulai memfokuskan pikrannya pada salah satu koan sebagai
objek meditasi. Karena koan bukan permasalahan yang bisa diselesaikan dengan
akal intelektual, introspeksi terhadap koan didesain sebagai jalan pintas
intelektual menuju ke realisasi yang sebenarnya.
Shikantaza biasanya diasosiasikan dengan aliran Soto, dan
praktik koan dengan aliran Rinzai. Pada kenyataannya banyak juga komunitas Zen
yang menggabungkan kedua metode tersebut, bergantung pada guru dan muridnya.
SANZEN
Para bhiksu Zen tidak sendirian berjuang dengan koannya.
Buku-buku tidak akan lagi relevan untuk menjawab pertanyaannya, dan koan-koan
yang mereka meditasikan tidak didiskusikan dengan bhiksu-bhiksu lainnya. Karena
alasan ini, maka diadakan jalan lain untuk memeperoleh jawaban.
Sehari dua kali, setiap bhiksu menemui master-nya (guru-nya)
dalam pertemuan pribadi untuk “berkonsultasi yang berkaitan dengan
meditasi”—disebut sanzen di aliran Rinzai dan dokusan di aliran Soto.
Pertemuan-pertemuan ini selalu dilaksanakan meskipun hanya
dalam waktu singkat. Pada pertemuan ini juga, para bhiksu biasanya akan
melakukan klarifikasi atau konsultasi tentang koan yang mereka interpretasikan,
atau pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman spiritual mereka.
Peran seorang Master dalam Sanzen:
Dalam sanzen, perna master adalah sebagai:
1.
Untuk memvalidasi jawaban yang benar
2.
Untuk menolak jawaban yang kurang
memadai/ mencukupi
3.
Untuk menjaga para muridnya tetap
bersemangat dan membulatkan tekad selama beberapa tahun pelatihan yang
dibutuhkan.
SATORI OR KENSHO
Menurut D.T. Suzuki, satori ialah “looking into one’s nature
or the opening satori”; this acquiring of a new point of view in our dealings
with life and the world is popularly called by Japanese Zen students ‘satori’
(wu in Chinese). It is really another name of Enlightenment
(“Annuttara-samyak-sambodhi”).”
Terobosan pertama dan paling penting dalam pelatihan zen
adalah pengalaman intuitif yang dikenal dengan satori atau kensho. Meskipun
persiapannya mungkin memakan waktu bertahun-tahun, pengalaman itu sendiri hanya
sekelebat cahaya, meledak seperti sebuah di kedalaman hati sanubari orang yang
mengalaminya, dan hanya dalam hitungan detik mengubah pandangan orang tersebut
pada perspektif yang sangat berbeda.
Satori merupakan versi Zen dari pengalaman mistis, yang, apa
pun bentuk penampakannya akan membawa kegermbiraan atau kesenangan, pada
ke-satu-an, dan pada sebuah perasaan tentang realitas yang tak dapat diuraikan
dalam bahasa.
Tetapi, satu hal yang paling pentin dari Zen adalah bahwa Zen
tidak mengizinkan ruh manusia menarik diri sepenuhnya pada level spiritual atau
metafisik sepenuhnya. Kejeniusan zen terletak pada fakta bahwa Zen tidak
menempatkan dunia ini di bawah posisi ideal yang berhasil ia capai (ketika
enlightenment); tidak juga menarik diri dari dari dunia dengan sikap enggan
atau mengabaikan.
Objek Zen adalah untuk memasukkan sesuatu yang temporal pada
keabadian—untuk memperlebar pintu-pintu persepsi sehingga keajaiban dari
pengalaman satori dapat mengalir setiap hari ke dunia.
Catatan Huston Smith tentang Satori:
Pertama, Satori merupakan sebuah kondisi dimana kehidupan
dengan sangat jelas terlihat baik. Kedua, sebuah pandangan objektif terhadap
relasi satu dengan lainnya. Ketiga, kehidupan seorang Zen tidak menarik diri
dari dunia; Satori mengembalikan seseorang pada dunia—dunia dilingkupi cahaya
baru. Keempat, sebuah sikap yang menyamaratakan persetujuan. Kelima,
sebagaimana adanya dikotomi antara diri dan bukan diri, terbatas dan tidak
terbatas, penerimaan dan penolakan adalah transenden, bahkan dikotomi antara
kehidupan dan kematian menghilang.
d
Aliran-aliran Zen
Buddhisme
Meskipun meditasi (dhyana atau “pikiran yang berkonsentrasi”)
telah dipraktikkan oleh Buddhisme sejak awal, “Mazhab Meditasi” dengan
bentuk-bentuk latihan dan transmisi (telepati atau transfer ilmu dengan mind to mind) merupakan produk dari
Buddhisme di Cina. Di Cina, bagaimana pun, Ch’an (Zen dalam bahasa Jepang)
tumbuh dan berkembang berdampingan dengan tradisi-tradisi Buddhis yang lainnya.
Zen ini diperkenalkan ke Jepang oleh seorang Bhiksu Hosso, Dosho dan seorang
Master Vinaya dari Cina (Ritsu dalam istilah Jepang) Tsao-hsuan (yang dikenal
sebagai Dosen di Jepang) pada periode Nara. Pada awal periode Heian,
Saicho—atau Dengyo Daishi—menyatukan Zen, sebagai sebuah unsur paling penting
dalam sistem Tendai-nya. hanya selama
periode pertengahan Zen berhasil dibentuk sebagai sebuah mazhab independen
dalam Buddhisme. Terdapat tiga aliran Zen di Jepang yang berkembang pada era
Kamakura, yaitu (1) Sekte Rinzai, diperkenalkan dari Cina oleh Eisai pada 1191;
(2) Sekte Soto, diperkenalkan oleh Dogen dari Cina pada 1227; dan (3) Sekte
Fuke didirikan oleh Kakushin pada 1255.[19]
Tradisi ke keempat, yang dikenal sebagai Sekte Obaku, didirikan oleh seroang
biarawan Cina, Ingen, pada 1654.
a.
Eisai
dan Mazhab Rinzai
Eisai (1141-1215)
mengkombinasikan dalam dirinya sendiri pendirian sosial dan keberagamaan dari
Heian dan Kamakura. Sebagai seorang biarawan muda Tendai, ia merasa patah
harapan menyadari penurunan persepsi Buddha tradisional dan pelajaran-pelajaran
kebiaraan di Pegunungan Hiei. Penekanan gurunya bukanlah pada sebuah “keyakinan
keselamatan” sebagaimana di aliran-aliran Honen, Shinran, dan Nichiren. Tujuan
utamanya adalah dengan purifikasi (pemurnian) dan pemulihan keagungan Buddhisme
tradisional di Jepang. Ia hidup pada masa ketika para biarawan dan pendeta
terhimpun dalam kekuatan dan keberlimpahan, suatu kondisi dimana para
aristrokrat beranggapan bahwa mengundang para bhiksu tampan bersuara merdu
untuk menyanyikan sutra-sutra terdahulu merupakan sebuah hiburan.
Untuk mempelajari
tradisi sebenarnya dari Tendai, Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan
menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun
1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an. Meskipun aliran
Rinzai di Jepang dipengaruhi oleh aliran Lin-ch’i di Cina, tetapi keduanya
memiliki etos yang berbeda terhadap pemerintahan. Ch’an menekankan pada, “tidak
adak kebergantungan pada kata-kata dan huruf-huruf; sebuah transmisi luar biasa
di luar ajaran-ajaran yang telah diklasifikasikan; tujuan yang jelas pada
pikiran manusia (mind of man); mencari sifat alami manusia (seeing into one’s
true nature)”. Ch’an bahkan tidak menghormati raja atau pangeran yang berkuasa.
Tetapi, Eisai mempelajari hukum dan mengobservasi kesamaan dalam aturan-aturan
upacara dari praktik-praktik Tendai, Shingon dan Zen.
Tradisi Rinzai
menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s
true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik
post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai
Kebuddhaan.[20]
Selain itu, tradisi
Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement)
yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious
seekers).[21]
Beberapa guru Zen yang lainnya juga mengekspresikan penglihatan sekejap
yang diikuti oleh pengembangan (cultivation) secara bertahap. Untuk mencapai
penglihatan batin ini dan untuk memperdalamnya, zazen dan memeditasikan koan
dianggap sangat esensial.
b.
Dogen
dan Sekte Soto
Dalam beberapa hal, Dogen sangat berbeda dengan Eisai. Dilahirkan dari
sebuah keluarga dari garis keturunan terhormat, Dogen mengalami tragedi
kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda. Menyadari kefanaan
dunia ini, pada usia 13 tahun, Dogen memasuki Biara Tendai di Pegunungan Hiei.
Pencariannya terhadap “kepastian” dalam mencapai Kebuddhaan mengantarkannya
keluar dari Pegununangan Hiei, pertama ia datang pada guru Pure Land, dan
kemudian Myozen, salah seorang murid dari Eisai. Pada 1223, Dogen pergi ke
Cina, masih dengan misi yang sama, mencari seseorang yang benar-benar telah
mencapai pencerahan, dan pada kesempatan itu ia bertemu dengan Ju-ching,
seorang Master Ch’an pada Biara T’ien-t’ung. Dibawah bimbingan Ju-Ching, Dogen
mencapai “pencerahan”. Kemudian ia kembali ke Jepang pada tahun 1227, mencoba
mentransmisikan capaian penglihatan batin barunya tanpa membangun sekte yang
baru. Bagaimana pun tradisinya dengan cepat membentuk satu sekte atau aliran
independen yang dikenal dengan Soto (bahasa Jepang dari Ts’ao-tung).
Aliran Soto ini menekankan pada praktik Shinkataza, yaitu
sekedar duduk. Istilah ini pertama kali digunakan oleh guru dari Dogen dan
secara literal berarti, “nothing but (shikan) precisely (da) sitting (za).”
Dengan kata lain, maksud Dogen adalah, “hanya melakukan zazen dengan sepenuh
hati” atau “menyatukan pikiran dalam duduk”.[22]
Shinkataza mengimplikasikan “sekedar duduk”. Steve Hagen mendeskripsikan kata
bahasa Jepang dari empat bagian: shi berarti tranquility, kedamaian; kan
berarti awareness, kesadaran; ta berarti hitting exactly the right spot (note
one atom off), mengenai titik yang sangat tepat (tidak satu atom pun luput);
dan za berarti duduk.
Sebuah terjemah dari shinkataza ditawarkan oleh Kobun Chino
Otogawa memberikan beberapa pandangan tambahan: shikan berarti murni, satu dan
hanya untuk itu. Ta merupakan kata yang sangat kuat, yang menunjukkan aktivitas
keberpindahan. Ketika kau memukul, gerakan tersebut disebut ta. Dan za memiliki
makna yang sama dengan zazen, duduk. (Shikan
means pure, one, only for it. Ta is a very strong word. It shows moving
activity. When you hit, that movement is called ta, so strike is ta. Za is the
same as in the word zazen, sitting.)[23]
DAFTAR PUSTAKA
Kitagawa, Joseph.
M. Religion in Japanese History.
1966. New York: Columbia University Press.
Nakamura, Hajime. Buddhism in Comparative Light. 1975. New
Delhi: Islam and the Modern Age Society.
Smith Huston. The World’s Religion: Our Great Widsom
Tradition. 1991. Stockbridge: Norman Rockwell Publishers.
Suwarto, Drs. Buddha Dharma Mahayana. 1995. Jakarta:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Watts, Allan W. The Way of Zen. 1957. Toronto: Pantheon
Books Inc.
Y.A. Mahabhikshu
Hsing Yun. Pembahasan 3 Sutra Agama
Buddha. 1994. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.
Y.A. Maha Sthavira
Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran.
1991. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.
[1]
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:35
[2]
What Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html;
tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini
diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
[3]
Ibid.
[4]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 480
[5]
Ibid. hlm: 483
[7]
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:32
[8]
Ibid. hlm:33
[9]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 434-435
[10]
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:36
[11]
Ibid. hlm:13
[12]
Ibid. hlm:14
[13]
Ibid. hlm: 16
[14]
Ibid. hlm: 17
[16]
An article from Genjo Marinello with entitled “Zen Koan Practice”, published by
Plum Mountain News, January 1995.
[17]
http://en.wikipedia.org/wiki/Zazen
[18]
An article “Zazen” taken from http://www.bodhizendo.org/zazen.htm
[19]
Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London:
Columbia University Press, hlm123. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.
[20]
en.wikipedia.org/wiki/Zen
[21]
Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London:
Columbia University Press, hlm126. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.
[23]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar