A. SEJARAH TIPITAKA
Beberapa minggu setelah
Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama
Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap,
sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita
apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita
menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan
tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa
Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan
Agung (Konsili) di Rajagaha.[1]
Dengan bantuan Raja
Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat
Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini
dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha,
mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang
Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama
inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka
(Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab
Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda
Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita
dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan
secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian
terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi
usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana
diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan
bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan
ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian
Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda.
Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri
Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad
setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar
Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta
(Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan
di bawah Kaisar Asoka Wardhana.[2] Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan
menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam
Sangha. Di samping itu, sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon
(Kitab Suci) Pali. Dalam Sidang Agung ketiga ini, ajaran Abhidhamma diulang
secara terperinci, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang
terdiri atas tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam
kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala. Golongan para bhikkhu yang
terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan
yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.[3]
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan
pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan.
Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha
dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat.
Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan
membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan
pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang
Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan
bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh
penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat
diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya
pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan
itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan
penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di
Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan
bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci
Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan
diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada
hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500
(tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali)
dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan
pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja
Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh
kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha
mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan
Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam
Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat
dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama
Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang,
termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma -
Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak
ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada
di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah
Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara
lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada
dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang
sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian
nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh
negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia
dan negara-negara lain.
SKEMA KITAB TIPITAKA
B. KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab suci agama Buddha
yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pâli dan
Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal sebagai 'pitaka'
atau 'keranjang', yaitu :
1.Vinaya Pitaka
2. Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka
Oleh karena itu
Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pâli) atau Tripitaka (sansekerta).
Di antara kedua versi Pâli
dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pâli) yang masih
terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang merupakan
kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).
1. VINAYA PITAKA
Vinaya Pitaka berisi
hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan
bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka, dan
3. Parivâra.
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan
bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang
mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran
yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat
menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan
kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan
membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau
kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis
pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan
berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi
peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih
banyak.
Kitab
Khandhaka terbagi atas Mahâvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi
peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara
Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha
(peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama
musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan
mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang
sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan
sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
Kitab Cullavagga berisi
peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara
penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan
pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang
timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah,
menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai
perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan
calon bhikkhu (sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha,
penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama
di Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra
memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun
dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Vinaya Pitaka, bagian pertama dari Tipitaka, adalah
landasan tekstual dimana komunitas monastik (Sangha) dibangun. Bukan hanya
berisi tentang aturan-aturan yang mengatur kehidupan dari bhikkhu (biarawan)
dan bhikkhuni (biarawati) Theravada, tetapi juga berisi prosedur dan konvensi
etika yang mendukung hubungan harmonis, bagi para anggota monastik itu sendiri,
dan antara anggota monastik dan umat awam yang menyokongnya, dimana kepada
mereka kebutuhan materialnya bergantung.
Ketika sang Buddha pertama kali mendirikan
Sangha, komunitas tersebuat awalnya hidup dengan harmonis tanpa ada aturan yang
tersusun. Seiring dengan Sangha perlahan berkembang menjadi besar dan berubah
menjadi komunitas yang lebih kompleks, kejadian-kejadian tidak dapat dihindari
untuk terjadi ketika seorang anggota bertindak dengan tidak terampil. Ketika
salah satu dari kasus ini laporkan kepada Sang Buddha, beliau akan mengeluarkan
aturan untuk memberikan hukuman untuk pelanggaran itu, untuk mencegah perbuatan
salah tersebut lagi dimasa yang akan datang. Teguran standar Sang Buddha
sendiri sangat membangun.
Hal itu tidak layak,
manusia bodoh, hal itu tidak cocok, hal itu tidak pantas, hal itu tidak layak
bagi seorang petapa, hal itu tidak sesuai aturan, hal itu tidak seharusnya
dilakukan. Bagaimanakah
engkau, manusia bodoh, telah "pergi melepas keduniawian" dibawah
Dhamma dan Disiplin (Vinaya) ini yang telah diajarkan dengan baik. [melakukan
hal itu dan pelanggaran itu]?... Hal itu tidak, manusia bodoh, untuk kebaikan
mereka yang tidak percaya, ataupun untuk menambah jumlah mereka yang percaya,
tetapi, manusia bodoh, hal itu merusak bagi kedua pihak yang tidak percaya dan
percaya, dan hal itu menyebabkan keraguan bagi beberapa.
- Buku
Disiplin, Bagian I, oleh I.B. Horner (London: Pāḷi
Text Society, 1982), pp. 36-37
Tradisi monakstik dan aturan-aturan yang
dibangun diatasnya terkadang dikritik dengan polosnya - khususnya disini di
Barat - sebagai hal yang tidak relevan dalam praktek "Modern"
Buddhisme. Beberapa melihat Vinaya sebagai kembalinya kepada patriarki kuno, berdasarkan
pada aturan dan kebiasaan kuno yang kacau - relik kultural yang antik yang
hanya mengaburkan esensi praktik Buddhis "sejati". Pandangan salah
ini mengabaikan satu fakta penting: terima kasih kepada garis silsilah monastik
yang tak terputus yang telah secara konsisten menegakkan dan menjaga
aturan-aturan Vinaya hampir selama 2,600 tahun yang sekarang ini kita dapatkan
dengan kemewahan untuk menerima ajaran Dhamma yang tak ternilai. Jika bukan
karena Vinaya, dan mereka yang terus menjaganya sampai hari ini, maka tidak
akan ada Buddhisme. Vinaya itu membantu mengingatkan kita bahwa nama yang Sang
Buddha berikan untuk jalan spiritual yang beliau ajarkan adalah
"Dhamma-vinaya" - Doktrin/Ajaran (Dhamma) dan Disiplin (Vinaya) -
memberi kesan sebuah tubuh terintegrasi dari kebijaksanaan dan latihan etikal.
Vinaya adalah sebuah sisi dan landasan yang sangat diperlukan untuk semua
ajaran Sang Buddha, tidak dapat dipisahkan dari Dhamma, dan layak dipelajari
oleh semua pengikut - umat awam dan monastik. Praktisi awam akan mendapatkan
banyak pelajaran berharga dalam Vinaya Piṭaka
tentang karakteristik manusia, petunjuk bagaimana membuat dan menjaga komunitas
atau organisasi yang harmonis, dan banyak ajaran-ajaran Dhamma yang dalam.
Tetapi nilai yang terbesar, mungkin, berada pada kekuatan untuk menginspirasi
umat awam untuk mempertimbangkan kemungkinan yang diberikan dengan sebuah
kehidupan pelepasan sejati, sebuah hidup yang dijalani sepenuhnya sesuai dengan
Dhamma.[5]
2.SUTTA PITAKA
Sutta Pitaka
terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu :
1.Dîgha Nikâya,
merupakan buku
pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi
menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga. Beberapa di
antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam
pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang
petapa), Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan
sehari-sehari umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara
lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna
Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).
o
Bramajala Sutta: "Jala para Brahma" Sang Buddha bersabda bahwa Beliau mendapat
penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena
kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau
memberikan sebuah daftar berisi 62 bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi
dari guru-guru lain.
o
Samannaphala Sutta: "Pahala
yang dimiliki oleh tiap pertapa". Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada
Sang Buddha, Beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang Bhikkhu, dari
tingkat terendah sampai tingkat Arahat.
o
Ambattha Sutta: Percakapan antara
Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang
raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.
o
Kutadanta Sutta: Percakapan dengan
Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang
untuk sajian.
o
Mahali Sutta: Percakapan dengan
Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi dari pada ini adalah
latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.
o
Kassapasihanada Sutta: Percakapan
dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa
diri.
o
Tevijja Sutta: tentang
ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa
Brahma.
o
Mahapadana Sutta: Penjelasan Sang
Buddha mengenai 6 orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai
masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon
bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu dan kota dengan
sebuah khotbah kedua mengenai Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita
hingga saat permulaan memberi pelajaran.
o
Mahanidana Sutta: mengenai rantai
sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.
o
Mahaparinibbana Sutta: cerita
tentang hati-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian
relik-relik.
o
Sakkapanha Sutta: Dewa Sakka
mengunjungi Sang Buddha, menanyakan 10 persoalan dan mempelajari kesunyataan
bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.
o
Maha Satipatthana Sutta: Khotbah
mengenai 4 macam meditasi (mengenai badan jasmani, perasaan, pikiran dan
Dhamma) disertai penjelasan mengenai 4 Kesunyataan.
o
Payasi Sutta: Kumarakassapa
menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau
akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di
surga dan melihat keadaannya.
o
Pitika Sutta: cerita mengenai
seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan
kegaiban maupun menerangkan asal mula banda-benda. Selama percakapan, Sang
Buddha menerangkan kedua hal tersebut.
o
Cakkavattisihanada Sutta: cerita
tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya
serta tentang Buddha Metteyya yang akan datang.
o
Aganna Sutta: perbincangan mengenai
kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta
dan artinya yang sesungguhnya.
o
Sampasadaniya
Sutta:
percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya
kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Sang Buddha. Sang Buddha berpesan
untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.
o
Lakkhana Sutta: Penjelasan mengenai 32 tanda "Orang Besar"
(Raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi 20
bagian; tiap bagian dimulai dengan "Disini dikatakan".
o
Sigalovada Sutta: Sang Buddha menemukan Sigala
sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan
menjelaskan bahwa pemujaan itu adalah menunaikan kewajiban terhadap enam
kelompok orang (orang tua, guru, sahabat dan lain-lain).
2.MajjhimaNikâya.[6]
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.
o
Mulapariyaya Sutta: pelajaran mengenai
akar segala benda mulai dari unsur-unsur sampai Nibbana.
o
Satipatthana Sutta: sama dengan di
Digha Nikaya, tetapi tanpa ulasan mengenai 4 Kesunyataan.
o
Kakacupama Sutta: "Tamsil
Gergaji". Perihal tidak marah jika dihina. Seorang Bhikkhu yang marah
seandainya anggota badannya digergaji satu demi satu bukanlah siswa Sang
Buddha.
o
Alagaddupama Sutta : "Tamsil
seekor ular air". Seorang Bhikkhu dimarahi karena melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ajaran. Mempelajari Dhamma secara tidak benar bagaikan
manangkap seekor ular pada ekornya.
o
Cula Saccaka Sutta : diskusi umum
antara Sang Buddha dan seorang Jain Saccaka mengenai lima khandha seseorang.
o
Maha Saccaka Sutta : mengenai
perenungan atas nama dan rupa, dengan penjelasan oleh Sang Buddha tentang ia
meninggalkan keduniawian, pengendalian nafsu dan penerangan sempurna.
o
Seleyyaka Sutta : khotbah kepada
para Brahmana dari Sala mengenai sebab-sebab mengapa makhluk ada yang memasuki
surga dan ada yang menuju neraka.
o
Vedalla Sutta (Maha dan Cula) : 2
khotbah dalam bentuk komentar atas istilah-istilah kejiwaan. Yang pertama oleh
Sariputta kepada Mahakotthita dan yang kedua oleh Bhikkhuni Dhammadinna kepada
upasaka Visakha.
o
Brahmanimantanika Sutta : Sang
Buddha menceritakan kepada para Bhikkhu bagaimana Beliau pergi ke surga Brahma
untuk memberi pelajaran kepada Baka, yakni salah satu penghuni surga, tentang
ketidakbenaran pendapat tentang kekekalan.
o
Maratajjaniya Sutta: cerita tentang
Mara yang menyelusup dalam perut Moggallana. Moggallana memerintahkan keluar
dan memberikan pelajaran dengan mengingatkannya akan suatu masa ketika
Moggallana sendiri terlahir sebagai Mara bernama Dusi dan Mara adalah
kemenakannya.
o
Kandaraka Sutta: percakapan dengan
Pessa dan Kandaraka dan khotbah tentang empat jenis orang.
o
Jivaka Sutta: Jivaka mengajukan pertanyaan apakah benar Sang Buddha
menyetujui pembunuhan dan memakan daging. Sang Buddha menunjukkan dengan contoh
bahwa itu tidak benar dan bahwa seorang bhikkhu makan daging hanya jika ia
tidak melihat, mendengar dan menduga bahwa daging itu khusus dibuat untuknya.
o
Upali Sutta: cerita tentang Upali
yang diutus oleh pemimpin Jaina Nataputta untuk berdebat dengan Sang Buddha,
tetapi akhirnya menjadi pengikut.
o
Kukkuravatika Sutta: percakapan
mengenai kamma antara Sang Buddha dengan dua orang pertapa, yang satu diantara
mereka hidup seperti anjing dan satu lagi seprti lembu.
o
Abhayarajakumara Sutta: Pangeran
Abhaya diutus oleh seorang Jain Nataputta untuk membantah Sang Buddha dengan
megajukan pertanyaan berganda tentang kutukan hebat yang diterima oleh
Devadatta.
o
Bahuvedaniya Sutta: mengenai
penggolongan perasaan-perasaan dan perasaan tertinggi.
o
Maha Rahulovada Sutta: nasehat
kepada Rahula tentang pemusatan pikiran dengan jalan menarik dan mengeluarkan
napas serta memusatkan pikiran kepada unsur-unsur.
o
Ratthapala Sutta: cerita mengenai
Ratthapala yang kedua orang tuanya tidak menyetujui ia memasuki Sangha dan
membujuknya untuk kembali menjadi umat biasa.
o
Makhadeva Sutta: cerita mengenai
Sang Buddha dalam kehidupannya di masa lampau sebagai Raja Makhadeva dan keturunannya
sampai Raja Nimi.
o
Angulimala Sutta: cerita mengenai
Angulimala, penyamun yang kemudian menjadi Bhikkhu.
o
Piyajatika Sutta: nasehat Sang
Buddha kepada seorang laki-laki yang kehilangan anak dan pertengkaran antara
Raja Pasenadi dan permaisurinya mengenai hal itu.
o
Brahmayu Sutta: mengenai 32 tanda
pada tubuh Sang Buddha dan penerimaan Brahmana Brahmayu sebagai pengikut
Buddha.
o
Sela Sutta: Pertapa Keniya
mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk jamuan makan. Brahmana Sela melihat
32 tanda dan menjadi siswa. (Ini terdapat pula dalamSn III 7).
o
Vasettha Sutta: Khotbah yang
sebagian besar dalam bentuk syair mengenai brahmana sejati, baik karena
kelahiran maupun perbuatan (ini terdapat pula dalam Sn IIII 9).
o
Subha Sutta: mengenai soal apakah
seseorang dapat berbuat kebaikan lebih banyak sebagai kepala keluarga atau
dengan jalan meninggalkan keduniawian.
o
Isigili Sutta: Sang Buddha
menjelaskan nama bukit Isigili dan menyebutnya nama-nama Pacceka Buddha yang
dahulu tinggal di sana.
o
Maha Cattarisaka Sutta: penjelasan
mengenai Jalan Mulia Beruas Delapan dengan tambahan mengenai pengetahuan yang
benar dan emansipasi yang benar.
o
Anapanasati Sutta: perihal cara dan
jasa melatih meditasi masuk dan keluarnya napas.
o
Kayagatasati Sutta: perihal cara dan
jasa meditasi badan jasmani.
o
Cula Kammavibhanga Sutta: Sang
Buddha menerangkan sifat-sifat batin dan jasmani orang yang berbeda-beda dan
keberuntungan mereka menurut kamma.
o
Maha Kammavibhanga Sutta: seorang
pertapa secara keliru menuduh bahwa Sang Buddha mengatakan kamma tidak berguna
dan Sang Buddha menerangkan pandangannya sendiri.
o
Dhatuvibhanga Sutta: uraian mengenai
unsur-unsur. Khotbah ini dimasukkan dalam cerita Pukkusati, seorang siswa yang
belum pernah melihat Sang Buddha akan tetapi mengenalinya melalui ajarannya.
o
Dakkhinavibhanga
Sutta:
Mahapajapati menghadiahkan satu pasang jubah kepada Sang Buddha, yang
menjelaskan berbagai jenis orang yang patut menerima pemberian dan berbagai
jenis orang yang memberi.
3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan. [7]
3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan. [7]
o
Ekaka Nipata: (yang serba satu)
misalnya pikiran terpusat/tidak terpusat; usaha ketekunan Sang Buddha dan
sebagainya.
o
Duka: (yang serba dua), dua
jenis kamma vipaka yaitu yang membuahkan hasil dalam kehidupan
sekarang maupun yang membawa kepada tumimbal lahir dan seterusnya; dua jenis
dana; dua golongan Bhikkhu dan sebagainya.
o
Tika: (yang serba tiga), tiga
pelanggaran melalui jasmani, ucapan dan pikiran; tiga perbuatan yang patut
dipuji yaitu kedermawanan, penglepasan, dan pemeliharaan orang tua; dan
sebagainya.
o
Catuka: (yang serba empat), empat
jenis orang yaitu tidak bijaksana dan tidak beriman; tidak bijaksana tapi
beriman; bijaksana tapi tidak beriman, bijaksana dan beriman; empat jenis
kebahagiaan (empat Brahma Vihara, empat sifat yang menjaga Bhikkhu dari
kekeliruan); empat cara pemusatan diri dan sebagainya.
o
Pancaka: (yang serba lima), lima
ciri yang baik dari seorang siswa; lima rintangan batin; lima obyek meditasi;
lima sifat buruk; lima perbuatan baik; dan sebagainya.
o
Chakka: kewajiban rangkap enam dari
seorang Bhikkhu.
o
Sattaka: tujuh jenis kekayaan; tujuh
jenis kemelekatan.
o
Atthaka: delapan sebab kesadaran;
delapan sebab pemberian dana; delapan sebab gempa bumi.
o
Navata: sembilan perenungan;
sembilan jenis manusia.
o
Dasaka: sepuluh perenungan, sepuluh
jenis penyucian batin.
o
Ekadasaka: sebelas jenis kebahagian
/ jalan menuju nibbana; sebelas sifat-sifat baik dan buruk dari seorang
pengembala dan Bhikkhu.
4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta. Bebebapa samyutta diantaranya sebagai berikut:[8]
o Mara: perbuatan-perbuatan bemusuhan dari Mara terhadap Sang Buddha dan para siswaNya.
o
Bhikkhuni: bujukan yang tidak
berhasil dari Mara terhadap para bhikkuni dan perbedaan pendapatnya dengan
mereka.
o
Brahma: Brahma Sahampati memohon
Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma kepada dunia.
o
Sakka: Sang Buddha menguraikan
sifat-sifat Sakka, Raja para Dewa.
o
Nidana Samyutta: penjelasan mengenai
Paticcasamuppada (doktrin sebab musabab yang saling bergantungan).
o
Abhisamaya: dorongan untuk membasmi
kekotoran batin secara tuntas.
o
Khandha Samyutta: kumpulan unsur,
fisik dan mental yang membentuk individu.
o
Kilesa: kekotoran batin muncul dari
enam pusat indria dan kesadaran indria.
o
Vedana: tiga jenis perasaan dan
sikap yang benar terhadap perasaan itu.
o
Citta: alat indria dan obyeknya pada
hakekatnya tidak jahat, melainkan kehendak-kehendak tidak baik yang timbul
melalui kontak mereka.
o
Asankhata: tidak terbentuk (Nibbana)
o
Magga Samyutta: jalan beruas
delapan.
o
Bojjhanga: tujuh faktor Penerangan
Agung.
o
Satipatthana: empat dasar
kesadaraan.
o
Indriya: lima kemampuan
o
Sammappadhana: empat macam usaha
benar.
o
Bala: lima kekuatan.
o
Iddhipada: empat kekuatan batin.
o
Anuruddha: kekuatan-kekuatan gaib
yang dicapai oleh Anuruddha melalui kesadaran.
o
Jhana: empat jhana.
o
Anapana: kesadaraan dari pernapasan.
o
Sotapatti: gambaran
tentang seorang "penakluk arus".
o
Sacca: empat
kesunyataan mulia.
5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu :
a. Khuddakapâtha, berisi
empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra, Kumârapañha, dan lima
sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri
atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udâna, merupakan
kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini
memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi 110
sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavâ
(demikianlah sabda Sang Bhagavâ).
e. Sutta Nipâta, terdiri
atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga. Empat vagga
pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam
belas sutta.
f. Vimânavatthu,
menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui
perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan
kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari
perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragâthâ, kumpulan
syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa
syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang
diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.
j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai
kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku :
Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna
Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta; sedang Mahâ-Niddesa
menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta
Nipâta.
l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik
tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga
: Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh
topik (kathâ).
m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.
m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.
p. Nettippakarana (hanya pada Tipiṭaka Bahasa Burma)
q. Peṭakopadesa (hanya pada Tipiṭaka Bahasa Burma).
r.
Milindapañha — Pertanyaaan Milinda (hanya pada
Tipiṭaka edisi Birma)
Singkatan Dan Penomoran [9]
Umumnya
dalam merujuk sebuah Sutta, digunakan penomoran dan singkatan dari Nikāya-nya.
Sebagai contoh,
·
DN 5, artinya Dīgha Nikāya, Sutta no. 5
·
SN
45.10, artinya Saṃyutta Nikāya, Saṃyutta
nomor 45, Sutta Nomor 10
Berikut
ini adalah daftar singkatan yang digunakan,
·
DN = Dīgha Nikāya
·
MN = Majjhima Nikāya
·
SN = Saṃyutta Nikāya
·
AN = Anguttara Nikāya
·
KN = Khuddaka Nikāya
·
Khp = Khuddakapāṭha
·
Dhp = Dhammapada
·
Ud = Udāna
·
Iti = Itivuttaka
·
Snp = Suttanipāta
·
Vv = Vimānavatthu
·
Pv = Petavatthu
·
Thag = Theragātha
·
Thig = Therigātha
·
Miln = Milindapañha
3.
ABHIDHAMMA
PITAKA[10]
Ketika Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang
disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti ilmu jiwa,
logika, etika, dan metafisika. Jadi merupakan penyajian khusus tentang Dhamma
seperti yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Pada umumnya, isinya terdapat dalam
sutta-sutta akan tetapi yang diuraikan dalam bagian ini adalah bentuk yang
terperinci. Kitab ini terdiri atas 7 buah buku (pakara), yaitu:
1.
Dhammasangani: perincian Dhamma-Dhamma, yakni unsur-unsur atau
proses-proses batin.
2.
Vibhanga: perbedaan atau penetapan. Pendalaman mengenai soal-soal dalam
Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi 8 bab
(vibhanga) dan masing-masing mempunyai 3 bagian.
3.
Dhatukatha: penjelasan mengenai unsur-unsur, yaitu mengenai unsur-unsur
batin dan hubungannnya dengan kategori lain. Buku ini terbagi menjadi 14
bagian.
4.
Puggalapannatti: penjelasan mengenai orang-orang, terutama menurut
tahap-tahap pencapaian merka sepanjang Jalan. Dikelompokkan menurut urutan
bernomor, dari kelompok satu sampai sepuluh, seperti sistem dalam Kitab
Anguttara Nikaya.
5.
Kathavatthu: pokok-pokok pembahasan, yaitu pembebasan dan bukti-bukti
kekeliruan dari berbagai sekte (aliran-aliran) tentang hal-hal yang berhubungan
dengan theologi dan metafisika. Terdiri atas 23 bab yang merupakan kumpulan
percakapan-percakapan (katha).
6.
Yamaka: kitab pasangan, yang oleh Geiger disebut logika terapan. Pokok
masalahnya adalah psikologi dan uraiannya disusun dalam pertanyaan-pertanyaan
berpasangan. Kitab ini terbagi menjadi 10 bab yang disebut Yamaka.
7.
Patthana: kitab hubungan, yaitu analisa mengenai hubungan-hubungan
(sebab-sebab dan sebagainya) dari batin dan jasmani yang berkenaan dengan 24
paccaya (kelompok sebab-sebab).
Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma bersifat
sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka
dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana, dan mudah dimengerti oleh
umum. Pada dewasa ini sudah banyak bagian dari Tipitaka yang telah
diterjemahkan dan dibukukan ke dalam Bahasa Indonesia misalnya Kitab
Dhammapada; beberapa Sutta dari bagian Sutta Pitaka lainnya; beberapa bagian
dari Vinaya Pitaka dan juga beberapa bagian (buku) dari Abhidhamma Pitaka.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Agama-agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 1988
Guide to tipitaka, Buddha ebook. U Ko Lay.Buddha Dharma
Association inc.
http://mitta.tripod.com/kitab.htm
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/
http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
T. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana
Indonesia. 1995
[1] http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[2] Ibid
[4] http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/
[5]
http://dhammacitta.org/dcpedia/Vinaya_Pi%E1%B9%ADaka
[6] ibid
[7] ibid
[8] Ibid
[9]
http://dhammacitta.org/dcpedia/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka
[10]
http://sudhammacaro.blogspot.com/2012/09/abhidhamma-pitaka.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar