Oleh :
IKA WAHYU SUSANTI
1111032100039
Pendahuluan
Pembahasan
Hukum Kasunyataan merupakan salah satu isi dari Panca Sadha yang merupakan
keyakinan pokok Agama Budha yang ditemukan oleh Sang Budha dengan kemampuan
sendiri. Di mulai saat Budha Gotama
mencapai Penerangan Sempurna melalui proses yang tidak mudah.
Keyakinan
Terhadap Hukum Kasunyataan
A.
Pengertian Hukum Kasunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti
apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sansekerta disebut Satya artinya fakta yang
tidak dapat dibantah.[1]Hukum
Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan
tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan bersifat kekal dan
abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan di
setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu
Sanghyang Adi Budha. [2]
Kata Kasunyataan berasal dari bahasa Sansekerta SUNYATA atau bahasa Pali
SUÑÑATA yang berarti jalan pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dibentangkan
dengan kata-kata manusia, hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang,
dan kata Sunyata/ Suññataadalah dari kata SUNYA/ SUÑÑA artinya pencirian
segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat.[3]
Sunyata/Suññata juga digunakan untuk mencirikan Yang Mutlak yang tidak
dapat dinyatakan dengan kata-kata manusia. Segala sesuatu yang hanya dapat
disadari oleh kemampuan luhur karena Pandangan Terang. Kenyataan Mutlak, ialah
yang berlaku dimana saja, dan kapan saja, tidak tergantung pada waktu dan
tempat.[4]Kata
suññata dan sunyata dipakai untuk mencirikan Kenyataan Mutlak dan dalam
bahasa Indonesia disebut KESUNYATAAN.[5]
Sederhana Dhamma berarti Ajaran Agama. Hukum Kasunyataan termasuk
didalam Dhamma yang telah diajarkan Budha Gotama kepada manusia dalam khotbah
pertama, ialah dua bulan setelah Siddharta Gotama mencapai tingkat Budha tepat
di bulan Asadha tahun 588 SM di Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares
India.[6]
Dhamma banyak dibentangkan dan diterangkan berulang-ulang kali di banyak
tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, dengan lebih banyak perincian dan
dengan berbagai cara, sehingga dapat dikenal adanya empat hukum Kesunyataan
yaitu:[7]
a.
Cattari Ariya Saccani artinya Empat Kebenaran Mulia/ Empat Kesunyataan.
b.
Kamma artinya Sebab-Akibat Perbuatan dan Punabbhava artinya Kelahiran
Kembali atau Tumimbal Lahir
c.
Tilakkhana artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkhandha artinya Lima
Kelompok Kehidupan atau yang disebut manusia.
d.
Paticca Samuppada artinya Pokok Permulaan Sebab-Akibat yang Saling
Bergantungan.
B.
Cattur Arya Sacccani (Empat Kebenaran Mulia)
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa
Sanskerta disebut Satya artinya fakta
yang tidak dapat dibantah. Menurut pandangan Budha ada empat Kasunyataan yang
berhubungan dengan manusia.[8]
Budha Gotama mengajarkan untuk melepaskan diri dari belenggu nafsu
keinginan, karena nafsu keinginanlah yang mendatangkan DUKKHA artinya
PENDERITAAN JASMANI ROHANI.[9]
Maka manusia mencari pembebasan untuk selama-lamanya dari segala
penderitaan tanpa tertinggal sedikitpun; dan tidak akan kembali lagi
penderitaan itu di kemudian hari. Budha Gotama mengajarkan PEMBEBASAN DIRI DARI
SEGALA DERITA, dengan menerangkan empat faktor didalamnya:
1)
Kesunyataan tentang Dukkha atau Dukkha
Ariyasacca
Dukkha diterjemahkan sebagai
penderitaan atau duka cita. Sebagai perasaan dukkha berarti sesuatu yang sulit
ditahan (du=sulit, kha=menahan).[10]Yang
termasuk dalam dukkha antara lain:
a. Kelahiran, usia lanjut, kematian adalah dukkha.
b. Timbulnya kesedihan, ratap tangis, kesakitan,
kesengsaraan, putus asa adalah dukkha.
c. Keinginan yang tidak tercapai adalah dukkha.
d. Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai dan berkumpul
atau selalu dekat dengan yang dibenci adalah dukkha.
e. Masih banyak lagi yang lain-lainnya.
Secara singkat susunan badan ini sendirilah sumber
penderitaan. Penderitaan bergantung pada manusia dan berbagai segi kehidupan,
harus diamati dan diuji dengan cermat.[11]
2)
Kesunyataan tentang Asal-Mula Dukkha atau Dukkha Samudaya Ariyasacca
Dukkha disebabkan oleh adanya nafsu keinginan, kehausan,
kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indriya dan pemikiran
untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai/dicinta
dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses tumimbal-lahir (rebirth).[12]
Dalam Dhammapada tercantum:[13]
“
Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan, bagi orang mutlak
bebas dari keinginan tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.” (V. 216)[14]
3)
Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodha Ariyasacca.
Penderitaan maupun keinginan
hanya dapat di hapuskan dengan mengikuti Jalan Tengah, yang dipaparkan oleh
Sang Budha, serta mencapai Kebahagiaan Nibbāna. Berhentinya penderitaan secara
tuntas yaitu Nibbāna, tujuan akhir semua umat Budha. Itu dapat tercapai dengan
menghilangkan segala bentuk napsu keinginan secara menyeluruh.[15]
Jadi dukkha hanya dapat
lenyap dengan Padamnya Napsu Keinginan (Tanhakkhaya) dan Padamnya Arus
Kekotoran Bathin (Asavakkhaya), yang berarti terhentinya proses tumimbal lahir
dan tercapainya Nibbana. Hal ini mengandung satu pengertian bahwa perasaan,
pikiran, dan perbuatan kita tidak dapat dibiarkan bekerja terus sampai
melampaui batas-batas kemampuan, maka selama itu pula kita dapat terbebas dari
segala penderitaan atau dukkha.[16]
4)
Kesunyataan tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodhagaminipatipada Arriyasacca.
Kesunyataan ini harus
disadari dengan mengembangkan Jalan Ariya Berunsur Delapan yang merupakan
Kesunyataan Mulia ke empat. Delapan Ruas Jalan Utama atau Ariya Atthangika
Magga adalah merupakan Parama Bodhi Marga atau Jalan Untuk Mencapai
Penerangan Sempurna.
Delapan Ruas Jalan Utama itu terdiri atas:[17]
a.
Harus memiliki pandangan / pengertian benar atau Samma Ditthi
b.
Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.
Ucapan benar atau Samma Vaca
d.
Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.
Mata pencaharian benar atau Samma Ajiva
f.
Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.
Perhatian benar atau Samma Sati
h.
Konsentrasi benar atau Samma Samadhi
Pelaksanaan
Jalan-Tengah ini, pada tingkat duniawi (lokiya) yang dibicarakan tentang Delapan
Ruas Jalan (Atthangika Magga) yang ditempuh orang biasa (Putthujjana) dan pada
tingkat mengatasi duniawi (lokuttara) yang dibicarakan adalah tentang Delapan
Ruas Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga) yang ditempuh oleh orang suci
(Ariya-Puggala).
Delapan Ruas Jalan
(Atthangika Magga) merupakan “pedoman hidup” dan Delapan Ruas Jalan Utama
(Ariya Atthangika Magga) adalah merupakan “tujuan hidup” bagi setiap umat
Budha. Bilamana kita hidup menurut Delapan Ruas Jalan mungkin kelak (lama dan
sukar) orang dapat membangkitkan Delapan Ruas Jalan Utama, dengan penuh
kesulitan-kesulitan ditempuhnya.[18]
C.
KAMMA (Hukum Karma)
Kamma adalah kata Pali dan Karma adalah kata Sanskerta yang secara
singkat berarti “Perbuatan”, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab
dan setelah dilakukan menimbulkan akibat. Hal ini YMS Budha Gotama pernah
bersabda yang terdapat pada kitab Anggutara-Nikaya III : 415 berbunyi: [19]
“ Oh, siswa-siswaku, kehendak untuk berbuat (cetana)
itulah yang Kami namakan Kamma dan sesudah berkehendak orang lantas berbuat
dengan Badan, dengan Ucapan dan dengan
Pikiran”.
Jadi, Kamma adalah suatu perwujudan dari perbuatan, yakni meliputi semua
jenis kehendak dan maksud perbuatan yang baik maupun yang buruk; dan lahir
maupun batin atau jasmani atau rohani. Makna yang luas dari Kamma sebenarnya
ialah semua keinginan yang tidak membeda-bedakan apakah keinginan/kehendak itu
bermoral (berakhlak) ataupun yang tidak bermoral.[20]
Semua perbuatan yang dilakukan akan meimbulkan akibat dan awal kejadian disebut
dengan sebab, sehingga Kamma juga disebut sebagai “HUKUM SEBAB AKIBAT
PERBUATAN”.
Kamma atau Karma adalah yang memberi corak kehidupan manusia dan yang
menentukan jenisnya, waktunya dan tempat kelahirannya. Begitu pula kebahagiaan
maupun penderitaan yang akan dialaminya adalah dari kammanya, pada intinya
kamma adalah perbuatan yang dapat menjadikan watak kita dan juga menentukan apa
yang menjadi kelanjutannya bagi diri kita.
Kamma itu tidak berasal dari luar, namun sebenarnya adalah hukum yang
bersemayam dalam diri kita sendiri dan gerak hidupnya. Dengan menyelami dirinya
sendiri akan mengetahui adanya keselarasan antara hukum Kamma maupun
watak-watak dalam hati nuraninya dan tata-susila terutama menentukan tertib
alam semesta ini.
Kamma itu bukan Nasib. Manusia yang sesungguhnya mempunyai kebebasan
kehendak dan dengan demikian manusia bebas pula untuk berbuat dalam menentukan
nasibnya sendiri, namun sering kali sukar melaksanakannya dan sering pula
seakan-akan kehendaknya didorong kearah tertentu oleh kekuatan di luar
kemampuannya, yang disebabkan tidak lain karena pengaruh Kamma-nya di masa yang
lampau. Sekalipun demikian dengan tekad dan kemauan yang kuat manusia pasti
mampu untuk setiap saat menentukan Kamma-nya sendiri.
Menurut sudut pandang Buddhis, perbedaan yang terjadi pada manusia baik
perbedaan mental, moral, kecerdasan dan pembawaan saat ini, ini lebih banyak
dipengaruhi oleh perbuatan dan kecenderungan kita, baik pada masa lalu maupun
masa sekarang.
Sekalipun Dhamma mengajarkan, bahwa Kamma adalah sebab utama adanya
berbagai keadaan di alam ini, namun ini bukanlah suatu fatalisme (menyerah
kepada keadaan serta berputus-asa) maupun suatu nasib tertentu yang sudah
digariskan untuk seseorang atau makhluk. Hukum Kamma hanya merupakan salah satu
dari 24 sebab, sebagaimana diketemukan dalam falsafah agama Budha (Compendium
of Philosophy Page 191) atau salah satu dari 5 Niyama (Hukum Tertib Alam
Sejagat) yang bekerja dialam semesta ini, dan yang satu persatu merupakan hukum
tersendiri. Marilah kita perhatikan kelima Hukum Tertib Alam Sejagad diatas
sebagai berikut:[21]
1)
Utu Niyāma,
ialah hukum psysical inorganic[22]misalnya:
gejala timbulnya angin dan hujan yang mencakup pula silih bergantinya
musim-musim dan perubahan iklim, yang disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat
panas dan sebagainya.
2)
Bija Niyāma,
ialah hukum tertib tumbuh-tumbuhan daripada benih dan pertumbuhan tnam-tanaman
misalnya: padi berasal dari tumh-tumbuhan dari tumbuh-tumbuhan benih padi,
manisnya gula berasal dari batang tebu atau madu, keistimewaan daripada
berbagai jenis buah-buahan dan sebagainya.
3)
Kamma Niyāma,
ialah hukum tertib sebab dan akibat[23]
atau aturan tentang perbuatan dan hasilnya[24],
misalnya: perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan bermanfaat (membahagiakan, baik
dan bermaksud merugikan, buruk) terhadap pihak lain, mengahasilkan pula akibat
baik maupun buruk. Sebagaimana sifatnya air selalu mengalir untuk mencapai
persamaan tingginya, begitu pula kamma bersifat untuk selalu mendapatkan
keseimbangannya, selalu menghasilkan buah-buah yang sewaktu-waktu menyenangkan
dan sewaktu-waktu menjengkelkan, ini buka suatu hukuman atau hadiah, terhadap
si pembuat daripada perbuatan, tetapi memang sudah menjadi sifat wataknya, atau
rangkaian daripada suatu kejadian.
4)
Dhamma Niyāma
ialah, hukum tertib terjadinya suatu persamaan dari suatu gejala yang khas atau
hukum tatanan norma, misalnya: terjadinya keajaiban alam sewaktu seorang
Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai calon Budha, pada saat ia akan
terlahir untuk kemudia menjadi Budha. Sebab-sebab daripada keselarasan dan
sebagainya adalah termasuk golongan hukum ini.
5)
Citta Niyāma,
ialah hukum tertib jalannya alam-pikiran atau hukum alam bathiniah, misalnya:
proses daripada kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat
kesadaran, kekuatan pikiran, dan sebagainya.
Bunyi Hukum Kamma[25],
hukum kamma merupakan hukum alam, bagaikan hukum Archimedes, gaya tarik bumi
dan lain-lainnya, yang bekerja sendiri menurut prinsipnya sendiri. Tidak benar
bilamana dikatakan, bahwa Dewa-dewa ada yang menertibkan bekerjanya Hukum
Kamma. Hal ini tidak mungkin karena dewa-dewa itupun terkena hukum kamma, jadi
mana mungkin mereka dapat menertibkannya.
Pembagian Kamma
menurut sifatnya ada dua dan apa yang menjadi akarnya:[26]
a.
Kusala-Kamma artinya perbuatan baik; ialah perbuatan baik yang dilakukan
oleh Pikiran, Ucapan, dan Badan.
b.
Akusala-Kamma artinya perbuatan jahat/buruk; ialah perbuatan jahat/buruk
yang dilakukan oleh Pikiran, Ucapan, dan Badan.
Hukum
Karma/ Kamma dapat dibagi dalam empat golongan besar, yaitu:
I.
Menurut Jangka Waktu
Golongan
Kamma ini dapat dibagi lagi dalam empat jenis:
a.
Yang “masak” dalam jangka waktu satu kehidupan (ditthadhamma-vedaniya-kamma).
b.
Yang “masak” dalam jangka waktu kehidupan berikutnya
(upajja-vedaniya-kamma).
c.
Yang “masak” dalam beberapa kehidupan berturut-turut (aparapariya-vedaniya-kamma).
d.
Yang tidak menimbulkan akibat sama sekali (ineffective kamma atau Ahosi
Kamma).
II.
Menurut Sifat Bekerjanya
Golongan
ini dapat dibagi dalam empat jenis:
a.
Janaka Kamma, adalah hukum yang menyebabkan timbulnya syarat untuk
terlahirnya kembali suatu makhluk.
b.
Upatthambaka Kamma, adalah hukum yang mendorong terpeliharanya satu
akibat daripada sebab (kamma) yang telah timbul.
c.
Upapilaka Kamma, adalah satu hukum kekuatan yang menekan, pula mengolah,
menyelaraskan satu akibat daripada satu sebab.
d.
Upaghataka Kamma, adalah kamma yang meniadakan kekuatan dan akibat dari
satu sebab (kamma) yang telah terjadi dan sebaliknya.
III.
Menurut Sifat Dari Akibatnya
Golongan
ini kembali dapat dibagi dalam empat jenis:[27]
a.
Garuka Kamma,
ialah kamma yang digolongkan dalam jenis yang bermutu dan “berat”. Akibatnya
dapat timbul dalam waktu satu kehidupan atau kehidupan berikutnya. Termasuk
pula dalam jenis ini, lima perbuatan durhaka yang akibatnya sangat berat,
yaitu:
1.
Membunuh ibu
2.
Membunuh ayah
3.
Membunuh seorang Arahat
4.
Menyababkan perpecahan Sangha
Lima perbuatan diatas
disebut anantarika kamma= kamma yang mneyebabkan penitisan di alam neraka.
b.
Asana Kamma,
ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebelum saat ajalnya
(kematiannya) dengan lahir dan batin. Kamma inilah yang akan menentukan keadaan
kelahiran seseorang yang akan dating, jika tidak ada Kamma yang lebih berat
lagi merupakan syara-syarat yang menentukan.
c.
Acinna Kamma
atau Bahula Kamma, yaitu bila
seseorang sebelum saat ajalnya tidak berbuat sesuatu, dan dengan demikian tidak
terdapat Asanna Kamma, maka yang menentukan keadaan kelahiran yang berikutnya
ialah Kamma kebiasaan atau Acinna Kamma, ialah perbuatan-perbuatan yang
merupakan kebiasaan bagi seseorang karenaseringnya dilakukan sehingga
seolah-olah merupakan watak baru.
d.
Kattata Kamma,
sebagai syarat yang merupakan penentuan kelahiran bagi seseorang, bilamana
Acinna Kamma tidak terdapat padanya, maka Kattata Kamma inilah yang menentukan,
yaitu Kamma yang tidak begitu berat dirasakan akibatnya dari
perbuatan-perbuatan yang lampau.
IV.
Menurut tempat dan keadaan dimana Kamma akan berbuah (berakibat)
Golongan
inipun dibagi dalam empat jenis:
a.
Kamma Jahat (tidak bermoral), yang berbuah di alam yang berisi penuh dengan
penderitaan dan yang sangat menyedihkan. Perbuatan-perbuatan jahat ini berakar
pada:
1.
Lobha, yaitu terlalu terikat keinginannya pada sesuatu, sehingga
menimbulkan keserakahan.
2.
Dosa, yaitu ketidaksukaan atau penolakan yang sangat terhadap sesuatu,
sehingga menimbulkan kebencian.
3.
Moha, kebodohan, kegelapan, pandangan sesat dari seseorang terhadap
hidup dan kehidupan.
b.
Kamma baik yang berakibat hanya sampai di kehidupan di
alam dunia ini yang penuh dengan keinginan, terdapat sepuluh jenis kamma baik, yaitu:
1.
Dāna - beramal
dan murah hati
2.
Sila - hidup
bersusila
3.
Bhāvanā - bermeditasi
4.
Apacāyana - berendah hati
dan hormat
5.
Veyyāvacca - berbakti
6.
Pattidāna - membagi
kebahagiannya kepada orang lain
7.
Pattānumodana - bersimpati
membagi kebahagiaan dengan orang lain
8.
Dhammasavana - mempelajari dan
sering mendengarkan Dhamma
9.
Dhammadesanā - menyebarkan dan
menerangkan Dhamma
10. Ditthijukamma
- berpandangan hidup yang benar
Adapun
akibat-akibatnya adalah sbb:
1.
Memperoleh kekayaan dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan
datang.
2.
Terlahir dalam keluarga luhur yang keadaannya bahagia.
3.
Bermeditasi berakibat penitisan dalam alam-alam sorga.
4.
Berendah hati dan hormat menyebabkan kelahiran dalam keluarga luhur.
5.
Berbakti mengakibatkan seseorang memperoleh penghargaan dari masyarakat.
6.
Seseorang yang berkecenderungan membagi kebahagiannya kepada orang lain
menyebabkan pemberi itu terlahir dalam keadaan tidak berkekurangan, bahkan
berlebih-lebihan dalam berbagai hal.
7.
Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam
lingkungan yang menggembirakan.
8.
Menyebar dan menegakkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya
kebijaksanaan.
9.
Menyebar dan menerangkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya
kebijaksanaan.
10. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan
diperkuatnya keyakinan.
c. Kamma baik yang berakibat kehidupan di alam halus, di mana masih
terdapat bentuk-bentuk, kamma ini
terdiri atas lima tingkat yang semata-mata bersifat mental dan hanya dapat
dicapai melalui latihan-latihan meditasi, yaitu:
1.
Dhyāna (Jhāna) pertama, keadaan batin ini terdiri dari lima tahap,
yaitu:
2.
Dhyāna kedua, yang bercorak:
a.
Vicara, b. piti, c. sukha, d. ekaggata
3.
Dhyāna ketiga, yang bercorak:
a.
Piti, b. sukha, c. ekaggata
4.
Dhyāna keempat, yang bercorak:
a.
Sukha, b. ekaggata
5.
Dhyāna kelima, yang bercorak:
a.
Ekaggata, ditambah dengan
b.
Keseimbangan batin
d. Kamma baik yang berakibat
kehidupan di alam halus, di mana tidak lagi terdapat bentuk-bentuk, kamma ini terdiri dari empat tingkat yang semata-mata
bersifat mental dan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan meditasi
tinggi, yaitu:
1.
Akasanancayatana, batin berada dalam ruang yang tak terbatas
2.
Viññāncayatana, batin yang berada dalam alam kesadaran yang tak
terbatas
3.
Akincannayatana, batin yang berada dalam keadaan kosong
4.
Neva-saññā-nasaññayatana, batin yang berada dalam keadaan bukan-pencerahan.
Syarat-syarat
Suatu Perbuatan Yang Dapat Disebut Kamma
Sesuatu Perbuatan yang dapat disebut Kamma yaitu
bilamana memenuhi syarat-syarat:[28]
1.
Harus terjadinya adanya Cetana[29]
2.
Perbuatan yang dilaksanakan berdasarkan kesadaran atau dengan sengaja.
Kamma berdasarkan Kejadiannya dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:[30]
a.
Perbuatan yang dilakukan oleh Pikiran (Mano-Kamma)
b.
Perbuatan yang dilakukan oleh Ucapan (Vaci-Kamma)
c.
Perbuatan yang dilakukan oleh Badan (Kaya-Kamma)
D.
PUNNABBHAVA(Tumimbal Lahir)
Perihal Tumimbal Lahir, ajaran Budha menyatakan bahwa hidup ini
merupakan proses yang berkesinambungan dari hidup yang lampau, hidup sekarang,
dan hidup yang akan datang. Kesinambungan dan keterkaitan hidup ini berlangsung
terus-menerus karena adanya “daya hidup” yang berupa “akibat perilaku” dari
perilaku-perilaku manusia yang telah dilakukannya. Apabila manusia tidak
memiliki “daya hidup” lagi maka ia dikatakan mencapai kebebasan dari hidup. Hal
ini berarti kebebasan dari penderitaan.[31]
Punnabbhava adalah kata Pali Punarbhava adalah kata Sanskertayang
berarti Tumimbal-lahir atau Kelahiran-kembali (rebirth).[32]Dalam
pujiannya yang pertama (udana), Sang Budha berkata:
“ Melalui banyak
kelahiran saya mengembara, mencari pembuat rumah ini. Sungguh menderita
kelahiran yang berulang-ulang (dukkhajatipunappunam) ”
Di
dalam Dhammacakka Sutta,[33]
yaitu khotbah Beliau yang pertama, Sang Budha mengulas kebenaran mulia yang
kedua bahwa “Nafsu keinginanlah yang menuntun pada kelahiran kembali (y’ayam tanha ponobhavika).” Sang Budha
mengakhiri khotbah ini dengan mengatakan: “Ini adalah kelahiranKu yang
terakhir, sekarang tidak ada kelahiran lagi bagiKu (ayam antima jati natthi’ dani punabbhavo).”
Alam semesta ini dikuasai oleh Hukum Sebab-Akibatyang
saling bergantungan atau hukum “Paticca-samuppada”. Sebagaimana terdapat
didalam penjelasan Paticca Samuppada bahwa “ke-inginan” menimbulkan ikatan;
“ikatan” menimbulkan arus penjelmaan ; dan “arus penjelmaan” akan menimbulkan
“Kelahiran”, inilah yang dimaksud kelahiran-kembali atau tumimbal-lahir.[34]
Pengertian persoalan Tumimbal-lahir tidak semata-mata dihubungkan dengan
persoalan Roh atau Setelah manusia mati. Pengertian tumimbal lahir mencakup
maksud yang lebih luas dan yang biasa digambarkan oleh seseorang dalam
percakapannya.
Ajaran Budhis tentang tumimbal lahir harus dibedakan dari teory
reinkarnasi yang menunjukkan perpindahan satu jiwa dan bahan yang di tumimbal
lahirkan yang tidak berubah. Tumimbal lahir adalah perpindahan dari nyala api
ini dari satu kelompok menuju yang lain. Nyala api kehidupan adalah terus
menerus walaupun ada perhentian yang jelas pada hal yang disebut kematian[35]
Sifat maupun corak dari suatu kelahiran kembali/ Tumimbal-lahir
ditentukan oleh Kamma kita sendiri, karena Tanha telah menjiwai diri kita dan
menjadi sebab kita berada sebagai individu beserta gerak hidup kita.
Ada 4 macam Tumimbal-lahir dari pada makhluk-makhluk:[36]
1.
Ada makhluk yang lahir dari kandungan, dalam kata Pali disebut
Jalabuja-Yoni. Misalnya: manusia, kuda, sapi, dll.
2.
Ada makhluk yang lahir dari telur, dalam kata Pali disebut Andaja-Yoni.
Misalnya: burung, ayam, ular, dll.
3.
Ada makhluk yang lahir dari kelembapan, dalam kata Pali disebut
Sansedaja-Yoni. Misalnya: nyamuk, ikan, dll.
4.
Ada makhluk yang lahir secara spontan, langsung membesar. Misalnya: Dewa
Brahma, dan makhluk neraka lainnya.
Selanjutnya terdapat pula 4 macam Tumimbal-lahir
secara Penyambung-kelahiran (Patisandhi) di 31 alam kehidupan, yaitu:
1.
Bertumimbal lahir di Alam Kehidupan yang menyedihkan (alam apaya), yang
terdiri dari Alam Neraka, Alam Binatang, Alam Setan, dan Alam Raksasa (Apayapatisandhi).
2.
Bertumimbal-lahir di Alam Nafsu Yang Menyenangkan (Alam Kamasugati),
yang terdiri dari sebuah Alam Manusia dan enam alam-alam Dewa
(Kamasugatipatisandhi).
3.
Bertumimbal-lahir di Alam yang
masih mempunyai bentuk, yang terdiri dari enam belas Alam (Rupavacarapatisandhi).
4.
Bertumimbal-lahir di Alam yang tidak terbentuk, yang terdiri dari empat
Alam (Arupavacarapatisandhi).
Kamma seseorang dari kehidupan di masa yang lampau dan
Kamma pada kehidupan yang sekarang adalah masak pada kehidupan-kehidupan
mendatang. Sewaktu meninggal dunia, Kesadaran Saat Ajal-nya didorong oleh
bentuk-bentuk Kammanyaakan menimbulkan Kesadaran-Penyambung untuk
bertumimbl-lahir di salah satu dari 31 Alam Kehidupan, yang merupakan permulaan
lagi dari suatu kehidupan baru.[37]
Jadi peranan bentuk-bentuk Kamma adalah yang merupakanarah penjelamaan (Gati)
seseorang untuk terlahir kembali di salah satu dari ke-31 alam kehidupan.
Alam-Alam Kehidupan[38]
KAMALOKA
(11)
Keberadaan Makhluk Duniawi
|
RUPALOKA
(16)
Alam
Berbentuk
|
ĀRUPALOKA (4)
Alam tak
Berbentuk
|
|||
DUGATI (4)
Alam-Alam Menyedihkan
|
SAGUTI (7)
Alam Bahagia
|
Dutiya Jhana Bhumi
Alam Jhana Kedua
Pathama Jhana Bhumi
Alam Jhana Pertama
|
N’eva Sanna N’a Sannayatana
Akincannayatama
Vinnanancayatana
Akasanancayatama
Catattha
Jhana
Bhumi
Alam Jhana Keempat
Tatiya Jhana Bhumi
Alam Jhana Ketiga
|
||
DEVA LOKA (16)
Alam Dewa
|
|||||
Asurayoni
Petayoni
Tiracchana yoni
Niraya
|
Manussa-Alam Manusia
|
Paranimmitavasavati
Nimmanarati
Tusita
Yama
Tavatimsa
Catummaharajika
|
|||
SUDHAVASA
Tempat
Kediaman Murni
|
|||||
Akanittha
Sudassi
Sudassa
Atappa
Aviha
Asannasatta
Vehapphala
Subhakinha
Appamanasubha
Parittasubha
Abhassara
Appamanabha
Parittaba
Maha Brahma
Brahma Purohita
Brahma Parisajja
|
|||||
Kesimpulan
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan merupakan nomor
ketiga dalam Panca Sadha. Dalam bahasan ini Budhis lebih mengupas tentang moral
manusia untuk mencapai Nibbana. Catvari Arya Satyani, membahas tentang Dukkha.
Karma atau Kamma merupakan akibat dari perbuatan yang telah diperbuat (sebab).
Budha pernah bersabda:[39]
“Sesuai
dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan diprtiknya, pembuat
kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula.
Tertaburlah oleh-mu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan
buah-buah daripadanya.”
Tumimbal-Lahir
merupakan proses dari pada Kamma itu akan terjadi. Tumimbal-Lahir dalam Budha
berbeda dengan konsep reinkarnasi, karena Tumimbal-lahir dalam Budha memulai
proses individu dari awal dengan jiwa dan raga yang baru dengan kemungkinan
buruk atau baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Djam’annuri, Agama
Kita, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. 2009
Mahāthera. Ven NĀRADA. Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya.Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma. 1992
Majelis
Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
T. Suwarto. Buddha Dharma
Mahayana. Jakarta : Majelis Buddha Mahayana Indonesia. 1995
Widyadharma.
Pandita Sumedha, Dharma-Sari
[1]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, (Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1992), Bag. 2, h. 38
[2] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 61
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 62
[7]Ibid
[8]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 38
[9]Ibid
[10]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 39
[11]Ibid
[12]Ibid
[13]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 64
[14]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 40
[15]Ibid.
[16]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 64
[18]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 67
[19]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 69
[20]Ibid.
[21]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 146
[22]Dalam buku Sang Budha dan
AjaranNya 2, hlm 58, psysical inorganic adalah aturan yang berhubungan
dengan segala sesuatu yang bersifat tidak hidup.
[25]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 151
[26]Ibid, h. 150
[28]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 149
[29]Merupakan akar dari perbuatan baik maupun buruk, lihat di Kebahagiaan Dalam Dhamma, hlm 147
[31]Djam’annuri, Agama Kita,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009), h. 70
[32]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 70
[33]Ibid, hlm. 103
[34]Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 71
[35]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha
dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 159
[36]Ibid, hlm. 72
[37]Ibid, hlm. 73
[38]Ibid. h. 136-137
[39]Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana.
Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia,
1995).h. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar