Oleh :
Rini Farida (1111 0321 000 57)
A.
PENDAHULUAN
Dalam sebuah buku yang berjudul Wacana Buddha Dharma, Krishna
Ananda Wijaya-Mukti mengutip sebuah ungkapan berikut:
“Buddha
Berkata, ‘ Ananda, barangkali ada diantra engkau semua yang berfikir:
Berakhirlah kata-kata Guru, kita tidak mempunyai Guru Lagi. Tetapi Ananda,
jangan engkau berpendapat begitu. Dharma dan Winaya yang telah aku ajarkan dan
aku nyatakan bagimu semua, itulah yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah
tidak ada lagi” (D. II, 154). Dharma dan Winaya tidak lain dari kitab
suci agama Buddha, yang semula disampaikan secara lisan.
Begitu
mendengar Buddha meninggal dunia, seorang biku yang bernama Subhadda Tua
berkata kepada teman-temannya agar jangan berduka, karena mereka terbebas dari
orang yang mengekang, sehingga dapat berbuat sesuka hati. Lalu biku Mahakassapa
mengajak para biku untuk membacakan Dharma dan Vinaya sebelum terdesak oleh apa
yang bukan Dharma dan Bukan Vinaya (Vin. 11, 284-285.)”[1]
Sebagai pendahuluan, penulis menyampaikan Terimakasih yang mendalam
kepada Ibunda Dra. Hj. Siti Nadroh selaku dosen pembimbing saya dalam
matakuliah Buddhisme yang telah memberikan saya kesempatan untuk berpartisipasi
menyusun makalah yang berjudul “Kitab Suci Agama Buddha Dan Sejarah
Kodifikasinya” ini. Kemudian saya juga ingin menyampaikan terimakasih banyak
kepada seluruh penulis buku yang telah banyak membantu saya dalam menyampaikan
sedikit pengeahuan saya tentang Materi ini, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas
saya selaku mahasiswi Perbandingan Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menyadari bahwa makalah yang berada dihaadapan pembaca ini masih terdapat
banyak kekurangan, patut saya ucapkan
mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Adapun segala bentuk kritik dan saran dari
pembaca sangatlah berharga bagi saya sebagai pemula, karena itu sudikiranya
pembaca dapat memakluminya.
Demikianlah Pendahuluan ini saya sampaikan, Harapan saya semoga
Makalah yang sangat sederhana ini sedikit-banyaknya dapat bermanfaat untuk saya
pribadi dan juga untuk segenap para pembaca.
Terimakasih.
Ciputat,
13 Maret 2013
Penyusun
B.
KITAB-KITAB AGAMA BUDDHA
The last
Message of Budha
“When I am
Gone, my teaching shall be your Master and Guide”
“My years are
now full ripe; the life span left is short. I will soon have to leave you, you
must be earnest. O monks, be mindful and of pure virtue! Whoever untiringly
pursues the Teaching, will go beyond the cycle of birth and death and will make
an end of suffering.”[2]
“Bila saya
telah pergi, ajaran saya akan menjadi Guru yang membimbing kalian”
“Tahun-tahun
(umur) saya kini telah matang; waktu hidup saya tersisa sebentar lagi. Saya
akan segera merealisasikan Parinibbana. Kalian harus bersungguh-sungguh . Wahai
para bikkhu, jagalah batin dan kebajikan suci! Siapapun yang tak kenal lelah
menjalani Dhamma, akan keluar dari lingkaran kelahiran dan kematian dan akan
mengakhiri Dukha.”
Sebegitu jauh kitab-kitab agama Buddha yang ada, baik yang tersusun
sistematis, dalam bentuk asli atau terjemahan, tertulis dalam bahasa Pali,
Sansekerta, Tibet dan Cina serta dalam bahasa-bahasa lain dimana agama Buddha
berkembang.
Kitab-kitab Tipitaka Pali adalah kitab yang tertua serta terlengkap.
Kitab Tipitaka sebagai kitab suci agama Buddha tersusun ke dalam Vinaya
Pitaka (peraturan),; Sutta Pitaka (Khotbah tetang ajaran);
Abhidhamma Pitaka (Filsafat, etika dan metafisika).
Disamping kitab-kitab suci yang suci yang berbahasa Pali juga
dijumpai kitab-kitab bukan kitab suci yang memakai bahasa Pali, misalnya :
Milinda-panha, Netti-pakarana, Atakatha (komentar) karya Budhadatta tentang
Tipitaka Pali, Jataka (oleh Budhaghosa atau Dhammapala kitab-kitab dari
Srilanka seperti Dipavamsa, Mahavamsa, dan Culavamsa).
Kitab-kitab dalam bahasa Sansekerta baik yang asli ataupun turunan
memberikan gambaran kepada kita beberapa materi (isi) yang berdiri sendiri dari
mashab-mashab Hinayana dan Mahayana.
Kitab Lalitavistara berisi biografi yang tidak lengkap dari Sang
Buddha, ditulis dalam bahasa Sansekerta campuran dan merupakan pegangan dari
Mahayana serta membentuk bagian dari Vaipulya Sutra. Asvaghosa terkenal dengan
kitab Buddhacarita, sedangkan Saundarannandan dan Aryasura dengan kitab Jataka
Mala.[3]
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang
merupakan kumpulan Khotbah, keterangan, perumpamaan dan percakapan yang pernah
dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi
kitab tersebut semuanya tidak berasal dari dari kata-kata sang Buddha sendiri
melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya. Oleh para
siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang
dikenal dengan pitaka atau keranjang, yaitu Vinaya pitaka, Suttra
pitaka, dan Abidharma pitaka.[4]
Selain pengelompokkan diatas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat
dikelompokkan menjadi kitab Sutra dan Sastra. Kitab Sutra adalah
kitab-kitab yang dipandang berisi ucapan sang Buddha sendiri, meskipun ditulis
jauh sesudah Ia meninggal dunia, sedangkan kitab Sastra adalah kitab yang
berisi uraian yang ditulis oleh tokoh
ternama yang biasanya disusun secara sistematis.
Sehubungan dengan sumber-sumber diatas, ada dua pandangan yang
berbeda, yakni antara golongan Therevada dan Mahayana. Golongan pertama menganggap
bahwa hanya kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada pesamuan agung pertama tahun 483
SM. saja yang dapat dianggap sebagai diajarkan sendiri oleh sang Buddha,
sedangkan golongan Mahayana, selain menerima Tripitaka sebagai sumber
ajarannya, juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber
ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha,
Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhhautpada, Saddharmapundarika,
Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain sebagainya.[5]
C.
PENULIS KITAB-KITAB AGAMA BUDDHA
1.
Penulisan kitab Berbahasa Pali
Kitab Pali yang pertama kali ditulis adalah kitab suci Tipitaka
pada abad pertama SM di Cylon. Sejak
saat itu banyak pula kitab-kitab lainnya yang ditulis dan mengacu pada
kitab suci Tipitaka. [6]
Suatu alasan penting memberikan dan mempelajari bahasa Pali dalam
memahami ajaran Buddha yang lebih mendalam. Karena bahasa ini merupakan gudang
yang menyimpan pengetauhan yang sangat berharga dari sejarah india kuno.
Diantara penulis kitab berbahasa Pali ke semuanya berisi hal-hal
sekitar Buddha yang sampai saat ini sangat membantu kita untuk memahami
ajaranNya, beberapa diantara mereka adalah Nagasena, Buddhadatta, Buddhaghosa,
dan Dhammapala.
Berikut ini adalah ikhtisar kehidupan para penulis kitab-kitab
agama Buddha, yang tak lain mereka adalah para Filsuf dan juga para sarjana.
Bikkhu Nagasena
Dalam kitab Milinda-panha disebutkan Bahwa bikkhu Nagasena lahir di
kajangala, suatu kota yang terkenal di salah satu daerah yang dekat dengan
Himalaya. Yang terletak di sebelah timur perbatasan Sonuttara. Setelah bikkhu Nagasena
mempelajari ketiga kitab Weda (Hindu), sejarah dan hal-hal lain, Nagasena
mempelajari ajaran-ajaran Bddha dibawah bimbingan Rohana kemudian ia masuk
sangha. Selanjutnya ia dikirim ke Pataliputra (Patna) khusus untuk mempelajari
ajaran-ajaran Buddha. Pada akhirnya ia berdiam di vihara Sankheyya di Sagala
dan berjumpa dengan Raja Milinda (Yunani: menandros atau Menander).
Buddhaghosa
Buddhaghosa adalah komentator terkenal dari naskah-naskah dalam
agama Buddha. Beberapa kitab karya Buddhaghosa adalah Mahavamsa,
Buddhaoghosupatu, Gandhavamsa dan Sasanavamsa.
Pada zaman Buddhaghosa agama Buddha yang berasal dari kitab-kitab
Pali sudah mulai menurun popularitasnya dan digantikan oleh kitab-kitab
Sansekerta. Oleh karena itu para bikkhu kemudian berdiam di Bodh Gaya meski
hingga abad ke-5 masehi dimana Buddhaghosa menjadi anggota Sangha dan tetap
berpedoman pada tradisi Pali. Pada waktu itu yang memimpin Vihara adalah bikkhu
Mahasthavira Revata.[7]
Dhammapala
Thera Dhammapala bertempat tinggal di Bararatittha, pesisir pantai selatan
India. Karya beliau banyak merujuk pada
komentar-komentar Buddhaghosa maka dapat dipastikan bahwa Beliau lebih muda
daripada Buddhaghosa.
Dharmmapala terkenal sebagai penulis
Paramatthadipani yang berisi komentar atas bagian-bagian kitab
Khuddaka-nikaya yang belum diselesaikan oleh Buddhaghosa, yakni Udana,
There-gatha, Theri-gatha dan Cariya-pitaka.
Di samping itu Thera
Dharmmapala menulis komentar yang disebut kitab Paramatthamanjusa atau
Visuddhimagga dari Buddhaghosa.
2.
Penulisan kitab berbahasa Sansekerta
Kita mengenal banyak penulis kitab agama Buddha dalam bahasa
Sansekerta. Mereka antara lain adalah Asvaghosa, Nagarjuna, Buddhapalita,
Bhavaviveka, Asanga, Vaubandhu, Dinnaga, dan Dharmakirti.
Asvaghosa
Selain seorang pemikir, Bikkhu Asvaghosa juga dikenal sebagai
seorang penyair dan pemikir pada zaman pemerintahan Raja Kaniska. Kitab-kitab
Buddhacarita dan Sundarananda adalah dua kitab yang populer karangan Bikkhu
Asvaghosa, yang berisi syair yang puitis. Naskah-naskah asli dari karya-karya
tersebut diketahui oleh I-Tsing (meninggal tahun 713).
Selain dua kitab syair yang terkenal
itu, Asvaghosa juga menulis tiga buah
drama (yang diketemukan di Turfan, Asia Tengah, pada awal abad ke-20). Salah
satu drama tersebut adalah Sariputraprakarana
yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, yang terdiri dari 9 babak.
Nagarjuna
BikkhuNagarjuna adalah sahabat dari Raja Yajnasri Gautamiputra
(166-196) dari kerajaan Satavahana. Peranan besar yang diberikan oleh Nagarjuna
sebagai seorang filsuf agama adalah menentukan arah titik-balik perkembangan
agama Buddha. Dalam bidang filsafat karyanya yang terkenal adalah Maddyamika-karika
(Madhyamika-sastra). Nagarjuna meletakkan dasar-dasar dari ajaran Madyamika
yang juga dikenal sebagai Sunya-vada[8].
Buddhapalita dan Bhavaviveka
Sthavira Buddhapalita dan Bhavaviveka keduanya merupakan eksponen
aliran Sunyavada yang dasar-dasarnya diletakkan oleh Nagarjuna. Mereka hidup
pada abad ke-5 dan dalam sejarah perkembangan agama Buddha mereka ini dikenal
sebagai pendiri dua aliran yang mengutamakan penggunaan nalar logika dalam
agama Buddha yaitu aliran Prasangika dan aliran Svantara.
Asanga dan Vasubandhu
Asanga dan Vasusbanhu adalah dua bersaudara yang hidup pada abad
ke-4 serta merupakan pemikir agama Buddha yang kreatif, yang telah membawa
pemikiran filsafat klasik dalam agama Buddha.
Vibhasa-sastra adalah komentar-komentar yang terdiri dari Vinaya,
sutra dan Abhidharma yang disusun pada Sanghayana yang diselenggarakan pada masa pemerintahan raja Kanishka. [9]
Dinnaga dan Dharmakirti
Nama Dinnaga memperoleh tempat terkemuka sebagai penawar logika
dalam agama Buddha. Dinnaga adalah pendiri aliran Nyaya dan hidup pada awal
abad ke-5. Sumber dari Tibet memberitakan bahwa Dinnaga lahir di Simha-vaktra
(Kanci selatan) dari keluarga Brahmana. Sebelum menganut pandangan Mahayana,
Dinnaga adalah penganut paham Vatsiputriya dari Hinayana. Beliau adalah murid
Vasubandhu.
Diantara karyanya yang terbesar adalah Pramana-samuccaya,
Nyaya-pravesa, Hetucakradamaru, Pramana-sastra-nyayapravesa.
Dharmakirti terkenal sebagai seorang pemikir yang suble, yang
pemikirannya berpengaruh bukan saja dalam agama Buddha tetapi juga pemikiran
filsafat India. karya Dharmakirti yang terkenal berjudul Pramma-varrtika
ditemukan di Tibet yang aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Karya-karya yang lain dari Dharmakirti yang pada umumnya membahas
ilmu pengetahuan agama Buddha terdapat dalam Prammana-viniscaya, Nyaya-bindu,
Sambandha-pariksa, Hetu-bindu, Vandanyaya dan Samanantara-siddhi.[10]
D.
TIPITAKA
Sudah menjadi ketentuan umum bahwa yang menjadi kitab Suci Agama Buddha
adalah Tipitaka. Demikian juga halnya di Indonesia. Hal itu telah ditetapkan
dalam kongres umat Buddha Indonesia di Yogyakarta tahun 1979 yang pada waktu
itu dihadiri tujuh majelis Agama Buddha dan Sangha-Sangha dari aliran Theravãda
dan Mahayana ataupun aliran Theravãda yang berbaur dengan Mahayana. Kitab suci
Agama Buddha (Tipitaka) yang lengkap hanyalah yang berbahasa Pali (bahasa yang
dipergunakan oleh Sang Buddha dan oleh rakyat jelata suku Magadha).
Tipitaka (Sansekerta: Tripitaka) adalah kumpulan ajaran
Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pali. Terdiri dari Sutta (Doktrin umun),
Vinaya (kode disiplin), dan Abhidhamma (psikologi mutlak. Tipitaka dihimpun dan
disusun dalma bentuknya seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak
langsung dengan Sang Guru sendiri.[11]
Tipitaka terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Tiga bagian itu
adalah:
Vinaya pitaka memuat hal-hal terutama
berkaitan dengan aturan tata tertib bikkhu dan bikkhuni. Disini digambarkan
secara rinci perkembangan bertahap sistem pengajaran Buddha. Secara tidak
langsung vinaya pitaka mengungkapkan
beberapa informasi bermanfaat mengenai sejarah masa lampau, adat India,
seni, lmu pengetahuan dan lain-lain.
Pitaka ini terdiri dari lima kitab:[12]
1.
Parajika (Pelanggaran
Berat)
2.
Pacittiya (Pelnggarana
ringan)
3.
Mahavagga (
Kelompok Besar)
4.
Culavagga (Kelompok
Kecil)
5.
Parivara (Ikhtisar aturan)
Sutta pitaka terdiri dari
ceramah-ceramah utama yang diberikan oleh Buddha sendiri dalam berbagai
peristiwa. Ada juga beberapa ceramah yang disampaikan oleh murid-murid-Nya yang
terkemuka, seperti Sariputta, Ananda, Maha Monggalana, termasuk beberapa
Bikkhuni terkemuka seperti Khema, Uttara, Visakha dan lain-lain. Kitab ini
seperti buku resep, karena wacana di dalamnya menjelaskan secara terperinci dan
menyesuaikan dengan berbagai kejadian dan perangai berbagai orang yang
berbeda-beda.[13]
Kitab ini dibagi menjadi lima Nikaya atau kumpulan, yaitu :
1.
Digha Nikaya (Kumpulan Panjang)
2.
Majjhima Nikaya
(Kumpulan sedang)
3.
Samyuta Nikaya
(Kumpulan Ujaran Setara)
4.
Anguttara Nikaya
(Kumpulan Ujarann Berurutan)
5.
Khuddaka Nikaya
(Kumpulan Naskah Kecil)
Abhidhamma pitaka adalah kumpulan kitab yang palinh penting dan menarik, karena
mengandung filosofi dan psikologi mendalam dari ajaran Buddha, lain dari wacana
sederhana dalam Sutta pitaka.
Dalam buku yang berjudul What Buddhist Believe, K. Sri
Dhammananda mengatakan bahwa Abhidhamma is analytical doctrine of mental
faculties and elements: Abhidhamma adalah doktin analisis mengenai indra
mental dan unsur.
E.
SEJARAH TIPITAKA
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang
tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih
kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang
tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang
tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat
apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya
Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu
memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di
Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda,
siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali
kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya
(peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh
ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang
mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali)
disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang
terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi
dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi
ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang
berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali,
di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat.
Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu
yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang
menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama
Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga
sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan
ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan
ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke
negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali
pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak
Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan
terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan
Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat
(83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk
pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui
kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada
permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali)
diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di
bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun
Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak
saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa
bahasa Barat.[14]
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama
sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang
tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini,
Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri
Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci
Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang
tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak
pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan
dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali)
sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda
di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di
negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah
menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka,
Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah
lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran
para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab
Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand,
dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain[15]
F.
Sidang Agung
Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan
Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).
1. SIDANG AGUNG I (KONSILI
I)
·
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama
2 bulan.
·
Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu
yang semuanya Arahat.
·
Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
·
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan Sidang:
·
Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan,
di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan.
·
Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat,
melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda
mengulang Dhamma.
Kesimpulan/Hasil Konsili I:
·
Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal
mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.
·
Mengadili Y.A. Ananda
·
Mengucilkan Chana
·
Agama Buddha masih utuh.
2. SIDANG AGUNG II
(KONSILI II)
·
Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4
bulan.
·
Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700
Bhikkhu.
·
Sidang diadakan di Vesali.
·
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Tujuan Sidang:
·
Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk
memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
Kesimpulan/Hasil Konsili II:
·
Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar
pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700
Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju.
· Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal
dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti"
karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.
3. SIDANG AGUNG III
(KONSILI III)
·
Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
·
Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
·
Sidang diadakan di Pataliputta.
·
Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan Sidang:
·
Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.
·
Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang
Buddha).
·
Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha
setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak
baik.
Kesimpulan / Hasil Konsili III:
·
Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor.
·
Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga
lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian
Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III.
·
Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah
memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka
dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.
Keterangan:
·
Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada)
dan Mahasanghika.
·
Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini
bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya
·
merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.
4.
SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
·
Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77
SM).
·
Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
·
Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan Sidang:
·
Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang
mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak
lain.
Kesimpulan / Hasil Konsili IV:
·
Mengulang Tipitaka.
·
Menyempurnakan komentar Tipitaka.
·
Menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar.
G.KESIMPULAN
Tidak lama setelah Hyang Buddha Maha Parinirvana, berkumpullah lima
ratus orang bhiksu yang telah mencapai tingkat Arahat di Rajagriha, di lereng
dari salah satu lima pegunungan Himalaya. Disana mereka berkumpul untuk
mengadakan Pertemuan Agung guna mengumpulkan semua khotbah yang telah diajarkan
oleh Yang Maha Bijaksana. Konsili pertama dipimpin oleh Maha Kasyapa.
Ananda yang selalu mendampingi Hyang Buddha kemana saja Beliau
pergi membabarkkan Dharma mempunyai ingatan yang luar biasa. Maka Ananda
diminta oleh sekalian Bhiksu yang hadir
dalam pertemuan itu untuk lebih dahulu mengulangi semua khotbah yang diajarkan
Hyang Buddha.
Demikianlah Ananda bersama lima ratus orang Arahat membuat semua
kitab suci atau Sutra yang berisikan Dharma dari yang Maha Bijaksana dan Agung.
Mereka telah memiliki karma baik di masa lampau untuk menuju Nirvana. Mereka
berusaha sepenuhnya mengusai Buddha Dharma. Semua kitab suci tersebut yang ada
sampai hari ini telah membantu mereka menuju Nirvana. Dan Umat Buddha juga akan
melanjutkan dengan cara yang sama untuk berbuat demikian dari satu masa ke masa
yang akan datang.[17]
H.
SKEMA KITAB TRIPITAKA
I.
Daftar pustaka
1.
Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press.
Yogyakarta: 1988
2.
Dhammananda, Sri. What Buddhist Believe, The Corporate Body
Of The Buddha Education Foundation. Taipei,Taiwan:1993
3.
Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. Ehipassiko Foundation:
2002
6.
T. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Majlis Agama Buddha
Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
7.
Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha.
CV. Dewi Kayana Abadi. Jakarta:2003
8.
Wijaya-Mukti, Khrishna. Wacana Buddha-Dharma, Sangha Agung
Indonesia. Jakarta: 2006
[1] Krishna Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma, hal: 119
[2] K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe, page. 39
[3] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.
117
[4] H.A Mukti Ali, Agama-agam Di Dunia, hal. 112
[5] H.A Mukti Ali, Agama-agam Di Dunia, hal. 114
[6] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.
128
[7] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.
133
[8] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.136
[9] Tim Penyusun, Materi Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.
137
[10] Ibid, hal. 139
[11] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, hal. 97
[12] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, hal. 99
[13] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, hal. 101
[14] http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[16] http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[17] Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar