Agama
Buddha timbul sekitar abad ke-enam SM sebagai reaksi terhadap sistem upacara
keagamaan Hindu Brahmana yang kaku. Istilah Buddha, berasal dari kata ‘Buddh’
yang artinya ‘bangkit’ atau ‘bangun’, dan dari kata kerjanya ‘Bujjhati’
berarti memperoleh pencerahan, mengetahui, dan mengerti, sehingga kata Buddha
dapat diartikan seseorang yang telah memperoleh kebijaksanaan yang sempurna.[1]
Sebagaimana umumnya diketahui oleh banyak orang bahwa nama agama Buddha berasal
dari Siddharta Gautama, yang diterima oleh murid-muridnya sebagai Buddha atau
‘Kebangkitan Buddha’.[2]
Sebagai
agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungannya dengan
alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang
dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila
yang harus dijalani agar terbebas dari lingkungan dukkha (penderitaan)
yang selalu mengiringi hidupnya.[3]
- INDIA SEBELUM MASA BUDDHA GAUTAMA
Terdapat dua corak dari agama-agama di dunia dewasa ini, yaitu berpusat
pada Tuhan (theis-sentris) dan berpusat pada manusia (homo-sentris).[4]
Sumber gambar: Pdf Ikhtisar Agama Buddha
Sebagai
salah satu tempat berkembangnya peradaban dan kebudayaan dunia, India telah
menjadi tanah suci bagi banyak orang untuk mendalami hakikat hidup Terdapat 2
pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme
dan Sramanaisme.
Apakah pandangan Brahmanisme dan Sramanaisme itu? [5]
Sumber gambar: Ikhtisar Agama Buddha
Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari bangsa Arya. Menurut paham ini,
roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak
ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme.
Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini? Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan
selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahannya pada kehidupan ini. [6]
Berbeda dari pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh
bangsa Dravida menganggap bahwa
roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya
badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi dan apabila pada saatnya
seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan
paham eternalisme (kekekalan). Apa akibat dari mereka yang memegang pandangan ini?
Karena beranggapan
bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan
sesuatu yang disebut Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang
suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai
berlebihan) dengan tujuan
menyucikan rohnya sendiri. [7]
Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan
sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan atau Jalan Tengah (the middle way).
Bagi umat Buddha ajaran yang
dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup daripada sebatas agama.
Mengapa? Karena apa yang
ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan
sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar
manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti. [8]
- RIWAYAT SIDDHARTA GAUTAMA
Menurut para ahli barat, Buddha
Gautama, pendiri Agama Buddha dilahirkan pada tahun 563 SM dan wafat pada tahun 483 SM. Ia adalah
anak Raja Suddhodana
yang memerintah atas suku Sakya. Ibunya bernama Maya. Ia dibesarkan di ibukota
kerajaan yaitu Kapilawastu.[9]
Dalam kehamilan, kelahirannya ratu
Maya merasakan ada tanda-tanda bahwa anak yang dikandungnya tidak akan menjadi
anak yang biasa. Karena ramalan pun menyebutkan demikian.[10]
Ratu Maya melahirkan seorang
Bodhisattwa tanpa kesulitan Dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan
dengan penuh kesenangan.[11]
Pertapa
Asita berdiam disalah satu gunung yang tidak begitu jauh dari istana,
mengunjungi pangeran untuk menyaksikan tanda-tanda pada tubuh pangeran,
memperhatikan dengan seksama dan menemukan bahwa pangeran memiliki kewajiban
besar (karena memiliki tanda-tanda tubuh dari orang yang Agung yang disebut
Maha Purisa.[12]
Pertapa Asita tertawa setelah melihat
pangeran. Tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan mencapai
Kesempurnaan (Buddha), sempurna dalam Kebijaksanaan maupun Kewajiban,
menjadi Guru para dewa dan manusia. Kemudian ia menangis karena usianya yang telah lanjut dan tidak mempunyai kesempatan lagi
melihat dan
mendengarkan saat pangeran mencapai kesempurnaan tersebut dan menjadi Juru Selamat dunia dengan
mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian ia berlutut dan menghormat kepada pangeran dan tanpa disadari diikuti oleh Raja
Suddhodana.[13]
Tetapi
pemaisuri wafat ketika sang bayi berumur satu Minggu.[14] Buddha
sekarang diasuh oleh kakak perempuan ibunya, Mahaprajapati, yang juga menjadi
istri Raja Suddhodana.[15]
Bayi itu diberi nama Siddharta, yang berarti semua cita-citanya
tercapai, Gautama adalah nama keluarganya[16]
juga karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda
Gautama. Ia juga disebut Shakyamuni yakni rahib atau yang bijaksana dari
kaum Shakya, dan Shaakya-sinha yaitu Singa dari kaum Sakya karena ia
termasuk golongan Ksatria keturunan Shakya.[17]
Pada waktu hidupnya Siddharta sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh
kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya ialah untuk menjauhkan
Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin Agama. Namun, hati Siddharta lebih tertarik pada
pertapaan.[18]
Setelah Pernikahan Pangeran Siddharta
dengan Putri Yasodhara, mereka hidup sangat bahagia, karena mereka cocok satu
sama lain. Pangeran hidupnya sangat senang, tetapi hanya menikmati hidup penuh
kesenangan duniawi di istananya. Namun demikian, pangeran suka pergi menyendiri
untuk merenung di tempat yang suci dan tenang.[19]
Pada suatu hari, Siddharta
bercengkrama dengan saisnya, Chanda. Sekalipun raja telah memerintahkan agar
seluruh jalan itu harus dibersihkan dari hal yang tidak menyenangkan namun
dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali (menurut
dongeng, orang tersebut adalah penjelmaan Dewa Brahma yang dengan sengaja
menampakan hal itu karena sudah waktunya Siddharta meninggalkan kemewahan).
Atas keterangan Chanda ia tahu bahwa
segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti itu. Dengan
wajah yang muram sekali Siddharta kembali ke istana. Pada perjalanan
cengkeramanya yang kedua Siddharta melihat orang yang kurus dan sakit hingga
tampak lemah sekali, kemudian dalam perjalanan yang ketiga ia melihat jenazah
yang diangkut ke kubur dengan diikuti oleh orang-orang yang mengantarkannya. Akhirnya pada perjalanan cengkerama
yang keempat ia melihat seorang pertapa, yang tampak serius, terhormat, serta
menguasai diri.[20]
Empat peristiwa penting tadi, yang beliau lihat tua, sakit,
meninggal, dan pertapa mulia, menyadarkan beliau bahwa semua itu harus dialami oleh semua makhluk, yakni seorang manusia akan tua, akan sakit, dan akan meninggal.[21] Sejak itu Siddharta ingin mengikuti
kehidupan pertapa ini. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan
kehidupannya yang mewah itu.[22]
Pada waktu yang sudah ditentukan oleh
para dewa, Siddharta pergi meninggalkan istri dan anaknya serta segala kenikmatan
hidup di dalam istana. Dengan tanpa diketahui siapapun.[23] Semua itu terjadi sama seperti yang
sudah diramalkan oleh seorang Brahmana pada waktu kelahiran Siddharta, yaitu bahwa Putra raja akan
menjadi seorang
Buddha, dan
bahwa hal itu akan dimulai setelah sang putra raja melihat empat tanda: orang
tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa.[24]
Sekarang dimulailah hidup
pengembaraan untuk memperoleh kelepasan. Tetapi lama ia tidak mendapatkan apa
yang dicarinya.[25] Akhirnya, suatu sore waktu ia berumur
35 tahun. Ia duduk
di bawah pohon Bodhi[26] (pohon
kesadaran) di Bodh Gaya
dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum ia mendapat pencerahan.
Ia duduk di bawah pohon dengan menghadap ke timur.[27]
Pertapaan itu dilaluinya dengan
gangguan Mara, iblis dengan macam-macam cara. Namun Siddharta berhasil
mengalahkannya.
Pencerahan
adalah jalan agung menuju negeri orang yang mengetahui segalanya. Ia adalah
mata yang suci yang dapat melihat jalan, benar dan salah. Ia adalah benih dari
semua Buddha dan menyebabkan ajaran Buddha tumbuh. (Kegon-Gyo
(Avatamsaka-sutra))
Saat matahari terbit, Siddharta
memperoleh kemenangan dengan tiga tahap :
Ø Waktu jaga malam
yang pertama ia mendapatkan pengetahuan tentang kehidupannya yang terdahulu.
Ø Waktu jaga malam
yang kedua ia menjadi mahatahu.
Ø Dan akhirnya
pada waktu jaga malam yang ketiga ia mendapat pengertian akan pangkal yang bergantungan, yang
menjadi awal segala kejahatan. Demikianlah, hingga matahari terbit ia sudah mendapatkan
pencerahan yang sempurna.[28]
Diiringi dengan mukjizat-mukjizat
yang luar biasa ketika itu. Seperti: kejahatan hilang di hati manusia, sakit
menjadi sembuh, alam diterangi oleh sinar yang luar biasa, dlsb. Sekarang Siddharta disebut Tathagata. Mula-mula Siddharta ragu-ragu, apakah
yang diperolehnya itu dapat diajarkan kepada orang lain. Ia takut, bahwa orang
akan menyalahgunakan ajarannya. Ketika sang Buddha ragu-ragu tersebut ada
mujizat yang lain seperti burung tidak terbang, sungai tidak mengalir, dlsb.[29]
Oleh
karena itu, Dewa Brahma meminta kepada sang Buddha untuk mengajarkan apa yang
sudah didapatnya kepada umat manusia.[30]
Pembicaraan pertama dilakukan di kota Benares. Hanya lima murid[31] (Kondana,
Bodiya, Wappa, Mahanama, da Asaji) didapatnya. Tetapi kemudian pengikutnya bertambah.[32]
Akhirnya pada umur 80 tahun wafatlah
sang Buddha di Kusinara. Tubuhnya dibakar, tetapi hanya daging dan bungkusnya yang menjadi abu, sedang tulang-tulangnya tinggal utuh.
Karena peninggalan itu menjadi bahan perebutan, maka dibagilah peninggalan itu
menjadi delapan bagian. Siapa yang minta delapan bagian harus mendirikan
bangunan bagi peninggalan itu.[33]
Sebagaimana
telah dipaparkan di atas, selain mendapatkan gelar Buddha, Siddharta juga telah
mendapatkan gelar Bhagava (orang yang menjadi sendiri tanpa guru yang
mengajar sebelumnya), Sakya-mimi (pertapa dari suku Sakya); Sakya-sumha
(Singa dari suku Sakya); Sugata (orang yang datang dengan selamat); Svarta-Siddha
(orang yang terkabul semua permintaan) dan Tataghata (orang yang
baru datang).[34]
Pendapat H. Kern menyebutkan dan mengakui kehidupan Buddha
memang pernah ada, tetapi ceritanya memang diliputi oleh suatu mitologi. Karena, bagi pengikut Buddha, hidup
Gautama sebagai perorangan tidak dianggapnya penting. Yang dipentingkan adalah
idenya.[35]
Sumber gambar: Ikhtisar Agama Buddha
- PENGERTIAN BUDDHA, DHARMA, DAN TRIRATNA
Buddha adalah sebuah gelar, suatu jabatan atau seorang
tokoh yang sudah pernah menjelma pada seseorang.[36] Menurut keyakinan Buddhis sebelum
tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap zaman yang tak terbilang banyaknya.
Tiap zaman memiliki Buddhanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu tiap zaman
memiliki Buddhanya sendiri-sendiri.[37]
Seorang
Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan dengan kekuatannya sendiri.[38]
Sekalipun Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM akan tetapi menurut keyakinan
Buddhis, pada tahun. Itu
Gautama bukan baru pertama kali datang ke dalam dunia. Sebelum ia dilahirkan
sebagai Siddharta ia telah hidup berjuta-juta abad, dengan nama Sumedha.
Sama dengan nasib tiap orang, ia mengalami kelahiran kembali berkali-kali.
Sebagai binatang, manusia, dewa. Selanjutnya tentang tokoh Buddha diajarkan
bahwa tokoh ini sebenarnya berasal dari suatu asas rohani, suatu kebudhaan atau
"tabiat kebudhaan" yang besembunyi di dalam diri tiap orang yang
menjadi Buddha, juga di dalam diri Siddharta.[39]
Seorang
Buddha bukanlah seorang Juruselamat yang melepaskan orang lain dengan
pengampunannya melainkan seorang penunjuk jalan, yang hanya menunjukan jalan ke
arah kebahagiaan.[40]
Dharma adalah doktrin atau pokok ajaran. Inti dharma
Buddha dirumuskan dalam empat aryasatyani yaitu ajaran yang diajarkan
Gautama di Benares, sesudah ia mendapat pencerahan.[41]
Yaitu:
Dukha, penderitaan. Hidup adalah menderita.
Samudaya, sebab.
Penderitaan ada sebabnya, yang menyebabkan orang dilahirkan adalah keinginan
untuk hidup, disertai nafsu, untuk mencari kepuasan disana-sini, yaitu kehausan
pada kesenangan, kehausan pada kekuasaan.[42]
Nirodha, pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dengan penghapusan
keinginan.
Marga, jalan kelepasan. Jalan menuju pemadaman penderitaan ada
delapan :
Percaya yang benar, maksud yang
benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, usaha yang
benar, ingatan yang benar, Dan semadi yang benar.[43]
Pokok ajaran Buddha Gautama, hidup
adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tiada penderitaan, Buddha tidak
akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan, menjadi tua, dan mati; tiada hidup yang tetap.[44]
Kehausan dan keinginan yang menyebabkan penderitaan pada hakikatnya disebabkan
karena ketidaktahuan atau awidya.[45], yaitu
ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini mengenai tabiat
asasi alam semesta, yang memiliki tiga ciri yang mencolok, yaitu:
A. Alam semesta penuh dengan
penderitaan (dukha)
B. Alam semesta adalah fana (anitya)
C. Tiada
jiwa di dalam alam semesta ini (anatman)[46]
Banyak
ajaran Dharma yang dapat diuraikan, dibahas, dan dimengerti. Tetapi, ada
beberapa ajaran Dharma yang hanya dapat ditembus oleh intuisi dan Pandangan
Terang.[47]
Triratna, ajaran
Agama Buddha dapat dirangkum di dalam Triratna (tiga batu permata),
yaitu Buddha, Dharma, Sangha (jemaat Buddha).[48]
Sumber: Wikipedia
Sangha
dibagi menjadi dua bagian, yaitu: para biksu atau para rahib dan kaum awam.[49]
Para
biksu yang menyerahkan sepenuh hidupnya untuk mencapai tujuan hidup tertinggi,
dengan menjauhkan sangat duniawi dari pandangannya, sementara kaum awam tidak
sepenuhnya menjauhi duniawi (berkeluarga, bermasyarakat), memberi biksu sedekah
pun sudah mendapatkan pahala.
Sekalipun
semuanya belum dapat membawa orang kepada nirwana, namun dapat menjadikan
mereka dilahirkan kembali di dalam dunia yang lebih baik daripada yang sekarang
mereka alami.[50]
Triratna
secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyu sampai tiga kali disebut Trisarana:
Aku berlindung kepada Buddha
Aku
berlindung kepada Dharma
Aku
berlindung kepada Sangha
Kedua kali Aku
Berlindung kepada Buddha
Kedua kali Aku
Berlindung kepada Dharma
Kedua kali Aku
Berlindung kepada Sangha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Buddha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Dharma
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Sangha
- PENGERTIAN SADHA DAN PANCA SADHA
Saddha
adalah sebutan dalam bahasa Pali atau Sradha sebutan dalam bahasa Sanskerta, yang
berarti Keyakinan atau Kepercayaan-Benar (Confident).[51]
Dalam
ajaran Buddha, sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang ditimbulkan oleh sesuatu
yang nyata. Jadi, Saddha juga berarti : [52]
Keyakinan,
Kepercayaan-Benar, Keimanan dalam Bakti.
Isi
Saddha, secara garis besarnya yang harus dimengerti oleh setiap siswa
agama Buddha yaitu adanya:[53]
- Sanghyang Adi Buddha = Tuhan Yang Maha Esa
- Triratna/Tiratana = Tiga Mustika (Buddha, Dharma, Sangha)
- Arahat/Arhat = Tingkat Kesucian Tertinggi
- Bodhisattva/Bodhisattwa = Calon Buddha
- Tilakkhana = Hukum Tiga Corak Umum
- Paticca-Samuppada = Hukum Pokok Permulaan Sebab Akibat yang saling bergantungan
- Kharma/Kamma = Hukum perbuatan yang dilakukan oleh pikiran, kata-kata dan badan.
- Punabbhava/Punarbhava = Tumimbal Lahir
- Cattari Ariya Saccani = Empat Kebenaran Mulia (Empat Kesunyataan)
- Nibbana/Nirwana = Padamnya Nafsu dan Kekotoran
Adapun Panca
Saddha (lima keyakinan) dari agama Buddha adalah sebagai berikut:
Keyakinan terhadap Adhi
Budha
Keyakinan Terhadap Para
Budha, Bodhisatwa dan Arahat
Keyakinan Terhadap
Hukum Kasunyataan
Keyakinan Terhadap
Kitab Suci (Tripitaka)
Keyakinan Terhadap
Nibbana
Yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah Saddha yang
point ke satu dan kedua.
a) Keyakinan
terhadap Adhi Buddha
Para
penganut Mahayana di Indonesia menganggap bahwa Sang Hyang Adi Buddha sebagai
Tuhan Yang Maha Esa, yang juga disebut ‘Swayambu Lokananta’ (pelindung
dunia) yang berkedudukan di Nirwana dan ‘Anista Buwana’ yaitu
Alam di atas segala Alam semesta. Jadi, Sang Hyang Adi Buddha adalah Dharmakaya[54]
(Kebenaran yang permanen, tidak berbeda, dan dapat dipahami, tetapi penjelasan
yang mendetail tentangnya beragam menurut aliran-aliran Agama Buddha yang
berbeda) yang kekal, abadi, tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk meliputi
segala sesuatu, yang hanya dapat diselami oleh mereka yang telah mencapai ‘samyak
sambodhi’, kesadaran tertinggi.[55]
Agama
Buddha di Indonesia tidak pernah memanusiakan perwujudan Tuhan.[56]
Agama
buddha bagi bangsa Indonesia adalah merupakan Agama yang ber-Tuhan dan bertakwa
pada Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutannya Sang Hyang Adi Buddha. Bagi
umat beragama buddha Indonesia, ajaran Yang Maha Esa adalah falsafah hidup.[57]
Agama
Buddha Indonesia adalah monotheistis, karena percaya terhadap Satu Tuhan.
Istilah Adi Buddha telah digunakan di Indonesia sejak zaman nenek moyang
sebelum Majapahit.[58]
Istilah
Adi Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebudhaan dan istilah ini ditemukan
baik di Pulau Jawa (Indonesia) maupun di Nepal dan di Tibet. Dianggap istilah
tersebut berasal dari Mahayana di Benggala. Di Nepal selain Adi Buddha dikenal
juga dengan Adinata yang berarti Pelindung Utama atau Svayambhulokanata
yang berarti Pelindung Jagad yang tidak dilahirkan. Bukti pertama konsep
Adi Buddha ini terdapat dalam kitab “Nama-sangiti” karya Bhikku
Indonesia bernama Chandrakirti.[59]
Candi
Borobudur adalah salah satu bukti dari keagungan Agama Buddha Indonesia.
Theologi
Agama Buddha Indonesia menyimpulkan Sanghyang Adi Buddha adalah merupakan
“sesuatu” Yang Maha Shakti, Maha Mengetahui, Maha Agung yang dalam suasana
Semadhi telah menyebabkan terwujudnya alam semesta dengan segala isinya. Lima
Thagata adalah merupakan pancaran dari suatu sumber pokok yaitu sumber
kebudhaan yang merupakan sumber yang Esa dari kelangsungan hidup seluruh alam
semesta dan segala isinya.[60]
Adi
Buddha merupakan daya dan gaya hidup yang menghidupkan segala yang hidup. Adi
Buddha sebagai sumber kebudhaan memancarkan cahanya menjadi cahaya yang sangat
syahdu dan kudus disebut Dhyani Buddha, yang merupakan intisari dari
kelima Manusia Buddha.[61]
Dhyani
Buddha disebut juga Tathagata atau Jina.[62]
Adi
Buddha melahirkan lima Dhyani Buddha yaitu ‘Buddha Amitaba (cahaya tanpa
batas), Vairocana (sumber cahaya), Aksobaya (sumber ketenangan), Ratna
Sambawa (permata alam semesta), dan Amoghasiddhi (mahajadi yang
tidak mengenal kegelapan).[63]
Selajutnya,
kelima Dhyani Buddha itu menjelma menjadi manusia Buddha sebagai berikut :
Vairocana = Kakusanda
Buddha
Aksobaya = Kanogamana
Buddha
Ratna Sambawa = Kassapa
Buddha
Amitaba = Buddha
Gautama
Amoghasiddhi = Maitreya
Buddha
Adi Buddha
sebagai Zat Mutlak adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menjadi sumber segala
yang ada, telah menjelma dalam tiga wujud (trimurti) yaitu: Dhyani
Buddha (sukma Buddha), Dhyani Bodhisattwa (Ego Sang Buddha) dan sebagai Manusia
Buddha.[64]
Adapun
Dhyani Bodhisattwa yang menjelma menjadi Samanthabadra (tengah), Vajrapani
(timur), dan Ratnapani (selatan). Di atas kelima Buddha yang memancarkan
Bodhisattwa dan Manusia Buddha itu ada yang tertinggi adalah Adhi Buddha atau
Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan antara Dhyani Buddha, Bodhisattwa dan Budha Dunia
itu erat sekali dan tidak terpisahkan satu sama lain, sebagaimana digambarkan
jelas sekali pada patung Bodhisattwa Avalokisvara di Candi Mendut, Indonesia. Menurut
kepercayaan Mahayana ada lima Dhyani Buddha, Bodhisattwa dan Manusia Buddha
dengan masing-masing kelompok menempati salah satu penjuru dunia sesuai dengan
arah mata angin dan salah satu daripadanya berada di tengah sebagai titik
pusatnya.
Sumber:
Wikipedia
Mereka
bertugas dalam salah satu masa yang terbagi dalam lima masa, dan untuk masa
sekarang ini yang bertanggung jawab adalah Amitaba, Bodhisattwa Alokatisvara, dan
Buddha manusia Gautama.[65]
Penjelmaan
di masa yang akan datang:
Dhyani Buddha
sebagai Amogasida
Dhyani
Bodhisattwa sebagai Vispasani
Manusia Buddha
sebagai Maitreya
Perkembangan
aliran Buddha Mahayana, ini hampir meliputi seluruh wilayah Asia sebelah
selatan, terutama seperti negara Nepal, Tibet, Tiongkok, dan Jepan dengan
berbagai versi sesuai kebangsaannya masing-masing.
b) Keyakinan
terhadap para Buddha, Bhodisattwa, dan Arhat
Terdapat
27 Budhha - Buddha terdahulu yaitu:[66]
1)
Tahankara
2)
Medhankara
3)
Saranankara
4)
Dipankara
5)
Kondanna
6)
Mangala
7)
Sumana
8)
Revata
9)
Sobhita
10)
Anomadasi
11)
Paduma
12)
Narada
13)
Padumuttara
14)
Sumedha
15)
Sujata
16)
Piyadassi
17)
Attadassi
18)
Dhammadassi
19)
Siddhattha
20)
Tissa
21)
Phussa
22)
Vipassi
23)
Sikhi
24)
Vessabhu
25)
Kakusandha
26)
Konagamana
27)
Kassapa
Buddha
Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke-28.
Semua
Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dharma dan kebajikan untuk pembebasan
mutlak dari penderitaan, Nibbana[67]
Baik dalam Hinayana maupun Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan
tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang agak
berlainan.[68]
Dua kata
yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran mahayana adalah Bodhisattwa dan Sunyata
(kekosongan) karena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman
tulisan-tulisan Mahayana.[69] Ajaran
Buddha Gautama menasehatkan semua orang menjadi Buddha atas tingkat dan derajat
yang disebut Nibbana, dimana semuanya akan terbebas dati samsara, terbebas dari
hukum tumimbal lahir. Jadi, jelas Nibbana tidak kosong, kata istilah sunnya
bukan kosong yang tidak berarti apa-apa. Menjelaskan bahwa sunnyata adalah ketenangan abadi, ketenangan agung, yang
terbebas dari gerak dan hukum alam. [70]
Secara harfiah
Bodhisattwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah Bodhi
(hikmat) yang sempurna.
Sumber :
Wikipedia
Sebelum
Mahayana timbul,
pengertian Bodhisattwa sudah dikenal juga kepada Buddha Gautama sebelum ia
menjadi Buddha. Di situ Boddhisattwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai
hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha. Jadi, semula
Boddhisattwa adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk
menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain.[71]
Kata
Sansakerta Bodhisatwa telah diterjemahkan ke dalam berbagai cara yang berbeda.
Bodhi artinya adalah ‘penerangan’, tetapi beberapa interpretasi dari kata Satwa
telah diajukan oleh para sarjana di masa dahulu maupun di masa modern. Berikut
dipaparkan di bawah ini:[72]
Satwa, berarti
‘sari, sifat dasar, sari asli’ (Skt. Dicy. Pbg & Skt. Dicy. M. W.)
Kata
Pali ‘Satwa’ berarti ‘isi pokok’ (Pali Dicy. S. V.)
Satwa
(maskuline) boleh berarti ‘setiap hidup atau mengalami sensasi tubuh’ (Skt.
Dicy. M. W.). Kata Pali Satta dapat
berarti ‘makhluk hidup, makhluk, mengalami sensasi dan rasio tubuh, orang’
(Pali Dicy. S. V.)
Kebanyakan
siswa modern mengambil interpretasi ini.
1)
H. Kern:
‘mengalami sensasi atau tubuh yang layak, memiliki bodhi (‘Manual’, p. 56, line
11)
2)
T. W. Rhys
Davids and w. Stede: ‘makhluk-bodhi yakni makhluk yang mempersiapkan untuk
mencapai penerangan yang sepenuhnya’ (Pali Dicy. S. V.)
3)
L. O. Barnett:
‘makhluk dengan penerangan’ (‘Path
4)
E. F. Thomas:
‘makhluk dengan (atau mempersiapkan untuk) Penerangan’ (‘Buddha’, p.2. note I)
5)
D. T. Suzuki:
‘Makhluk-Intelegensi’ (outline-p.297)
6)
Csoma de Koros:
‘Jiwa kuat, Suci’ (Csoma, p.6)
7)
Penulis
‘Samadhi-Raja-Sutra’ menginterpretasikan Satwa sebagai ‘badan, makhluk’ namun
memikirkan bahwa kata bodhisatwa berarti ‘seseorang yang mengingatkan atau
mendorong semua makhluk’ (bodheti satvam... sam. Ra. Fol. 25.a,4.)
Satwa, boleh
berarti ‘jiwa, pikiran, pengertian, kesadaran’. (Pali Dicy. M.W. and Pbg.) Kata
Pali Satta boleh juga berarti ‘jiwa’. (Pali Dicy. S. V.) Menurut L. de la Valle
Paussin, ahli perumusan bahasa-india juga menjelaskan Satwa sebagai suatu
sinonim untuk Citta (pikiran) atau vyavasaya (keputusan, kebulatan tekad).
Ahli perkamusan
bahasa Tibet menterjemahkan bodhisatwa sebagai ‘byani-chub sems-dpah’ di dalam
gabungan ini, byan-chub berarti bodhi, sems berarti ‘pikiran’ atau ‘hati’, dan
dpah menandakan ‘pahlawan, orang kuat’ = Skt. Cura, vira)
(Tib.Dicy.Jaschke,
374.b dan 325.b Tib.Dicy.Das, 883.b., 787.b. dan 1276.b.)
Menurut
E. J. Eitel, orang Tionghoa menginterpretasikan bhodisatwa sebagai ‘dia yang
memiliki intisari telah menjadi bodhi’ (p.34.a)
Menurut penulis
Har Dayal (The Bodhisatwa Doctrine in Buddhist Sanskrit Literature) Satwa
merupakan sebutan yang lebih tepat untuk seorang budha yang sempurna, yang
telah merealisasikan bodhi yang tertinggi.
Yoga-Sutra
disusun di antara 300-500 M, dan penjelasan-Vasya ditulis dalam periode 650-850
M. Kata bodhisatwa, bagaimanapun juga adalah sama tuanya Pali Nikayas, dari
abad ke-4 dan ke-5 SM.
Sekarang
bodhisatwa, di dalam teks Pali kelihatan mempunyai arti ‘makhluk bodhi’. Tetapi
Satta di sini tidak menunjukan suatu makhluk biasa semata-mata. Satta hampir
secara pasti berhubungan dengan Vedic kata-satvan, yang berarti ‘Krie-ger’,
‘seorang kuat atau berani, pahlawan, pejuang’. Di dalam cara ini, kita dapat
juga mengerti akhirnya ‘dpah’ di dalam persamaan bahasa Tibet. Satwa di dalam
bahasa Pali bodhisatwa haruslah diinterpretasikan sebagai ‘makhluk
gagah-berani, pejuang-spiritual’.
Kata itu
mensarankan dua ide mengenai keadaan hidup dan perjuangan, dan bukan
semata-mata gagasan mengenai keadaan hidup yang sederhana.
Kata
bodhisatwa sering dipasangkan dengan kata maha-satwa (yang besar/agung).
Cita-cita tertinggi di Mahayana untuk
menjadi Bodhisattwa sementara di Hinayana untuk menjadi Arhat hanya memikirkan kelepasan sendiri
tidak untuk orang lain, berlainan sekali.[73] Di
dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bodhisattwa tidak akan
dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam keadan yang tidak
menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattwa tidak diharuskan menyangkal dunia ini.
Ia menerima keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri, memiliki
kemewahan, dan
kekuasaan.[74]
Boddhisattwa
adalah yang belum menjadi Buddha atau calon Buddha yang belum mencapai Nibbana.[75]
Jadi, kita adalah calon-calon Bodhisattwa.[76]
Arahat lebih suci dari Bodhisattwa karena Arahat telah terbebas dari Kilesa
(hawa nafsu), dan mencapai Nibbana. Sedangkan Bodhisattwa belum dapat membasmi
Kilesa dan belum mencapai Nibbana, masih mengalami kelahiran dan kematian.
Tetapi mengenai cita-cita seorang Bodhisattwa lebih tinggi dari seorang Arahat
karena seorang Bodhisattwa bercita-cita ingin menjadi Buddha pada masa
kehidupan yang akan datang.[77]
Perbedaan
besar antara Arahat dan Bodhisattwa ialah bahwa yang pertama bertujuan untuk
mendapatkan pencerahan dan kebebasan bagi diri sendri, sedangkan Bodhisattwa
ingin menolong semua makhluk dan membawa mereka menuju pencerahan sepenuhnya. Sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Untuk melakukan hal ini, walau sudah memenuhi syarat,
Bodhhisattwa dengan sukarela meninggalkan Nirwana dan tetap tinggal di dunia
untuk menolong semua makhluk semua makhluk, manusia maupun binatang.[78]
Sejak
abad pertama Masehi, bakti mempengaruhi Agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu semakin
kuat.[79] Karena timbulnya unsur penyembahan
ini berubahlah keterangan tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang
Buddhis. Dalam Mahayana tempat perlindungan itu adalah para Buddha, anak-anak
Buddha atau Bodhisattwa dalam arti yang luas dan Dharmakaya. Demikianlah di dalam
Mahayana timbul ajaran tentang 'banyak Buddha', yang diuraikan secara
mitologis.[80]
Ajaran tentang banyak Buddha
dijabarkan dari ajaran tentang Lima skandha, atau Lima unsur yang
menyusun hidup manusia.[81] Semula diajarkan bahwa manusia
terdiri dari Lima skandha, yaitu:
v Rupa (tubuh)
v Wedana (perasaan)
v Samjna (Pengamatan)
v Samskara (kehendak, keinginan)
v wijnana (kesadaran).
Ajaran tersebut diterapkan pada diri
Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari Lima skandha dan setiap skandha adalah seorang
tokoh Buddha atau Tathagata.[82]
Sebagaimana
diterangkan di atas, Kelima Tathagata itu ialah Wairoscana (yang
menerangi), Aksobhya (yang tenang, tak terganggu), Amitabha (terang
yang kekal), Amoghasiddhi (keuntungan yang tidak binasa). Para Thatagata ini berbeda sekali keadannya dengan Buddha yang biasa. Para
Tathagata adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha yang biasa menjadi
manusia.[83]
Lima Doktrin
Utama dari Mahayana:[84]
1)
Sehubungan
dengan tujuannya, pergeseran dari ide Arahat menjadi ide Bodhisattwa.
2)
Suatu cara
pengolahan diri, yang menitikberatkan pada maitri-karuna yang sejajar dengan
Prajna yang ditandai dengan Sad-Paramitha.
3)
Kepercayaan atau
Sraddha yang diberikan terhadap suatu jumlah Hyang Tathagata, Tuhan Yang Maha
Esa, para Buddha, para Bodhisattwa, para Dewa, orang-orang Mulia dan suci.
4)
Menerapkan
metode Upaya-Kausaya.
5)
Doktrin mengenai
Sunyata, Tathagata, dsb.
KESIMPULAN
Pencerahan
batiniah melampaui keduniawian adalah tujuan agama Buddha, karena tanpa
Pencerahan di sana seorang buta meraba-raba di salam kegelapan. Dan ketika
pencerahan terjadi, belas kasih pasti mengalir keluar; manusia pasti belajar
mencintai sesamanya; dan peperangan, eksploitasi terhadap manusia dan binatang,
kemarahan, kebencian, dan hawa nafsu pasti berakhir. [85]
Kalau
kita memiliki pengertian dan pikiran yang benar, maka kita akan dapat menjadi
bijaksana.
Kalau
kita telah bijaksana, maka kita akan dapat berkata, berbuat dan bermata
pencaharian yang benar.
Kalau
kita telah dapat berkata dan bermata pencaharian yang benar, maka kita akan
menjadi manusia susila......[86]
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-agama Dunia. Editor Drs.
Djam’annuri, M.A. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988
Hadikusuma,Hilman. Antropologi Agama. - : PT.
Citra Aditya Bakti. 1983
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha.
Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 17. 2010
Hansen, Upa. Sasanasena Seng . Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production. Cet. Ke-2. 2008
Honig, A. G. Jr. Ilmu Agama. Terjemahan M. D.
Koesoemosoesastro dan Soegiarto. Jakarta : Gunung Mulia. Cet. 8. 1997
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam
Dhamma. Depok : Bromo fc
Suzuki, Beatrice Lane. Agama Buddha Mahayana.
Terjemahan Hustiati. - : Karaniya. 2009
Tanggok, M. Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009
T. Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta :
Majelis Buddha Mahayana Indonesia. 1995
Widyadharma, Maha Pandita Sumedha. Dhamma-Sari.
Jakarta : Yayasan Kantaka Kencana. Cet. 2. 1990
Kalijaga Press,
1988). h.101
2008). h. 1
2008). h. 2
2008). h. 2
2008). h. 3
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.8
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.9
Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.170
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.9
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.12
Sunan Kalijaga
Press, 1988). h.103
Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.165
Gunung Mulia, Cet. 8, 1997).h.166
Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.133-135
T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar